Beberapa hari lalu, saya mengikuti pertemuan kaum muda lintas agama di Ambarawa (15-17/08). Semua berjalan dengan sangat baik. Yang menarik, kami saling berbagi kisah nyata mengenai pengalaman hidup beragama dengan pemeluk agama lain. Indah, berkisah pengalamannya di sekolah. Pada waktu kecil, ia bersekolah di sebuah sekolah yang mayoritas terdiri dari anak-anak beragama Islam.

Sedangkan Indah sendiri adalah penganut Kristen sesuai dengan agama orangtuanya. Hampir setiap hari ia membawa bekal dari ibunya berupa roti berisikan daging babi. Sebagai anak kecil, waktu itu, ia menjumpai teman-temannya yang beragama Islam di sekolahnya juga sama-sama membawa makanan. Karena masih anak-anak, teman-teman Indah tergiur pada roti yang dibawa Indah. Anak-anak tersebut meminta sebagian roti itu pada Indah. Indah merasa kasihan pada teman-temannya. Lalu ia pun membagi roti itu kepada teman-temannya. Indah sama sekali tidak tahu bahwa daging babi ternyata haram bagi pemeluk Islam. Yang ia tahu, ia harus membagi makanan itu kepada teman-temannya karena menurutnya itu hal baik. Mereka pun memakannya. Tiba-tiba entah tahu darimana, teman-temannya tahu kalau isi roti itu adalah daging babi. Sontak, mereka marah lalu mereka mengeroyok Indah yang satu-satunya murid beragama Kristen di sekolah itu. Mereka merasa telah ditipu Indah untuk memakan daging babi isi roti tersebut. Indah merasa menyesal dengan peristiwa itu. Maka, selanjutnya, ia berhati-hati jika akan memberikan makanan pada teman-temannya, takut kalau ternyata makanan itu haram bagi teman-temannya. Ia mendapat pelajaran dari pengalaman berharga tersebut.

Namun, pengalaman menggelikan ia alami pada suatu waktu. Pengalaman itu terjadi bersama dengan teman yang juga tetangganya. Temannya biasa bermain dengannya. Bahkan mereka sangat akrab sehingga ketika temannya lapar, ia tanpa sungkan langsung mengambil piring lalu makan di rumah Indah. Namun kali itu kondisinya tidak seperti biasanya. Waktu itu, ibu Indah memasak daging anjing. Bagi orang Islam daging anjing haram. Ketika temannya makan dengan lahapnya nasi dan daging anjing itu, Indah bingung. Ia tidak tahu harus mengambil keputusan apa. Karena ia teringat pengalaman ketika dikeroyok teman-temannya gara-gara memberikan daging babi, maka ia dengan cepat mengatakan bahwa daging yang sedang dimakan temannya adalah daging anjing yang haram bagi agama Islam. Namun, Indah justru terkejut.

Bukannya temannya berhenti memakan daging itu, ia malah menambah daging anjing itu. Indah serba salah. Tidak diberi tahu dikeroyok, diberi tahu kalau haram, malah diabaikan. Itu adalah sepenggal kisah interaksi agama peserta live in lintas agama yang diselenggarakan Pondok Damai, sebuah forum lintas agama di Semarang.

Mereka berbicara tentang pengalaman menyedihkan dan menyenangkan pada masa lalu mengenai interaksi antarumat beragama. Para peserta dari berbagai agama berkisah tentang rasa sakitnya terutama yang minoritas.

Pada awal acara peserta diminta untuk memberi kesan terhadap pemeluk agama lain selain agama yang dianutnya. Tentu jawabannya sangat beragam. Kesan itu kemudian dibenturkan dengan pengalaman perjumpaan dengan teman-teman yang berbeda agama selama 3 hari. Dari pengalaman perjumpaan itu, mereka merasakan banyak hal baru yang selama ini belum pernah mereka rasakan seperti yang tadinya menganggap agama lain jelek, sejak pertemuan itu, mereka menjadi sadar bahwa anggapannya keliru. Ternyata pemeluk agama lain tidak sejelek yang dipikirkan.

Bahkan untuk melengkapi pengetahuan tentang agama lain, peserta dari berbagai agama diajak untuk mengikuti misa Maria diangkat ke Surga di Goa Maria Kerep Ambarawa. Mereka juga ikut dalam prosesi lilin dan perarakan patung Bunda Maria. Setelah itu mereka juga diajak ke kelenteng Hok Tik Bio Ambarawa untuk mengetahui lebih jelas tentang agama Tri Dharma (Buddha, Konghucu, dan Tao). Pengetahuan peserta tentang agama lain menjadi semakin lengkap.

Meskipun ini baik karena mengajak orang-orang berjumpa dengan pemeluk agama lain, ada beberapa catatan yang perlu disadari bersama. Pertama, peserta kebanyakan orang-orang yang berpendidikan tinggi yang notabene sudah mulai mengerti tentang perbedaan agama. Kedua, peserta berasal dari keluarga yang sejahtera. Ketiga, iklim mendukung untuk berdialog agama, karena mereka rata-rata mengetahui isu-isu agama seperti konflik agama, maupun terorisme yang memakai kedok agama. Jadi mereka tertantang untuk mendalami agama lain demi menjalin hubungan antaragama lebih baik. Dengan kata lain, mereka tidak mempunyai masalah yang berarti.

Namun, bagaimana dengan kondisi masyarakat senyatanya? Masyarakat kita masih diliputi ketidakadilan, kesenjangan sosial, pendidikan yang tidak merata, dan kemiskinan. Dialog dalam masyarakat meskipun sudah terjadi dengan sendirinya namun rentan dengan kondisi-kondisi tersebut. Bahkan bisa jadi, ketidakadilan, kesenjangan sosial, pendidikan yang tidak merata dan kemiskinan menjadi akar masalah yang bisa memicu konflik berkedok agama. Ini yang perlu kita waspadai bersama. Lalu model dialog yang tepat pun harus segera dibuat sehingga dialog pun bukan sebuah kepura-puraan, namun benar-benar merupakan persaudaraan sejati.

1 Komentar

Kesan/Pesan

Anonim mengatakan…
Ikut senang