Pada suatu hari ada seorang (anak) katekumen mundur dari pelajaran (katekumen) babtisnya. Setelah diusut ke sana-ke mari, ternyata alasannya dia takut pada si katekisnya. Dia mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dengan katekisnya itu. Menurutnya, katekisnya itu judes dan mudah marah. Padahal si katekis dikenal sangat cerdas dalam menjelaskan hal ikhwal kekatolikannya. Namun, di mata anak katekumen itu, katekis itu sangat menakutkan. Dari hal itulah, si anak malas untuk mengikuti pelajaran babtisnya. Sejak itu, ia lebih memilih pergi ke rumah kakeknya pada jam yang sama dengan pelajaran katekumennya. Di tempat kakeknya, ia bisa tersenyum dan tertawa dengan bebas. Padahal, kakeknya bukanlah seorang Katolik. Kakeknya penganut kepercayaan lokal (Kejawen). Ia tidak mengikuti ajaran dari enam agama yang diakui di Indonesia. Maka si kakek itu tidak ke gereja, masjid, pura, vihara ataupun kelenteng. Dengan kata lain, si kakek tidak beragama dari enam agama resmi itu. Namun bagi cucunya, si kakek mempunyai pesona tersendiri. Hal ini berbeda dengan katekisnya yang judes dan mudah marah itu. Bagi si anak itu, kakeknya sangat baik. Ia mengajari banyak hal. Kakeknya suka berkata dengan lembut. Sang kakek juga terlihat sangat piawai menahan kemarahannya. Anak itu juga menjumpai bahwa kakeknya adalah orang yang suka memberi sesuatu. Yang paling disukai anak itu dari kakeknya adalah, si kakek sering berkisah dan bercerita tentang banyak hal yang sarat dengan kebajikan. Lambat laun, si anak itu sangat mengidolakan kakeknya. Maka, ia pun memutuskan untuk mantap menjadi seperti kakeknya daripada mengikuti pelajaran babtis dan kelak dibabtis.

Post a Comment

Kesan/Pesan