Seringkali kita menjumpai orang-orang di sekitar kita yang getol mempelajari agamanya. Segala macam pengetahuan agamanya diserap dengan sangat cepat. Sejarah agama dilahap habis. Kitab suci dibaca sampai tamat. Aneka macam buku rohani menjadi menu harian. Dan tak kalah lagi, filasafat dan teori tokoh-tokoh agama tersohor yang berhasil mencetuskan pemikiran-pemikiran seputar agama pun terkuasai. Doa ini dan doa itu dihafal di luar kepala. Ritual keagamaannya pun terkuasai dengan hebatnya dari berlutut, berdiri ataupun hening. Singkatnya orang tersebut sudah menguasai hal-ikhwal keagamaannya.
Itu adalah syarat minimal seorang pemeluk agama, menguasai dasar-dasar keagamaannya atau imannya. Mengapa disebut syarat minimal? Karena semua itu baru pengetahuan. Kasarnya, orang tersebut di atas baru dalam taraf belajar suatu agama. Bisa saja hal itu dipelajari oleh pemeluk agama lain bahkan seorang ateis pun. Dengan kata lain orang tersebut sedang mempelajari teori agama tertentu belum sampai tahap memahami.
Padahal dalam kenyataan hidup ini, permasalahan-permasalahan yang muncul tidak cukup dijawab dengan teori. Banyak sekali pemeluk agama berkomentar tentang suatu permasalahan. Namun semua itu bermuara pada teori saja. Selanjutnya hal itu akan menjadi sesuatu yang normatif dan mengawang-ngawang. Akhirnya yang terjadi adalah solusi yang mengawang-ngawang dan normatif itu tidak pernah mampu menyelesaikan masalah. Alih-alih menyelesaikan, menyentuh saja sudah tidak bisa.
Mengapa bisa begitu? Jelas jawabannya, agamawan tersebut hanyalah teoritikus agama tertentu. Yang dipelajari dalam agama atau iman hanya teorinya saja. Padahal ajaran iman atau agama akan mempunyai kekuatan jika semua itu diolah oleh manusia. Proses pengolahan itulah yang menjadikan manusia itu bisa mengejawantahkan teori-teori menjadi solusi-solusi nyata (tindakan).
Dalam proses pengolahan iman atau agama, manusia harus menggunakan segenap fungsi tubuh, jiwa dan rohnya. Iman tidak hanya hidup dalam pikiran. Iman juga harus dirasakan. Selanjutnya iman dikolaborasikan dalam tindakan nyata. Kesemuanya itu saling berdialektika dan membangun. Iman juga mencakup kecemasan, kegelisahan dan pengharapan akan tatanan hidup yang ideal.
Bahaya-bahaya yang menggagalkan agama dan iman sebagai tata laku dan pedoman hidup adalah ketika, pertama, agama dan iman dijadikan teori belaka. Kedua, agama dan iman dijadikan sebagai kenikmatan ritual. Ketiga, agama dan iman sebagai alat kepentingan politik oportunis.
Singkatnya agama dan iman bisa dikatakan sebagai energi ketika manusia bisa memproyeksikannya tidak hanya pada ritualistik belaka namun pada tindakan sosial. Di sinilah sebenarnya agama dan iman kembali ke khitahnya. Para nabi yang dijunjung oleh agamawan datang untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Artinya, agama dan iman yang lahir setelah kelahiran nabi itu mempunyai misi profetis. Dalam arti itu, agama dan iman harus bisa berbicara lantang pada keadilan. Selanjutnya penganutnya (bukan tukang belajar teorinya) menyatakannya menjadi bentuk gerakan-gerakan sosial. Konkret, agama dan iman melalui penganutnya harus bisa menciptakan tatanan dunia yang adil sehingga agama dan iman itu memancarkan wajah Tuhan sendiri, Sang Inspirator bagi agamawan.
Secara sederhana, keberhasilan agamawan menjadikana iman dan agamanya sebagai kekuatan sosial terlihat ketika kondisi di sekitarnya juga menunjukkan masyarakat yang beradab, adil dan sejahtera. Kita akan menjadi curiga ketika seseorang atau sekelompok orang mengaku beragama dan beriman namun lingkungan masyarakatnya kacau, korup, terjadi penindasan di sana-sini.
Kata orang, Indonesia adalah negeri yang religius. Namun korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan sosial dan penghisapan manusia masih saja terjadi. Pantaskah Indonesia disebut sebagai bangsa religius, bangsa beragama, beriman atau ber-Tuhan? Ini menjadi permenungan bagi kita semua yang mengaku beragama dan beriman. Apalagi bagi mereka yang dalam beragama juga mempelajari teori tetek-bengeknya.
Sebagai manusia beragama dan beriman kita selalu mempunyai pengharapan. Pengharapan itu adalah kelak kita bersatu dengan Tuhan Sang Kasih. Namun ketika kita masih di dunia, kita berharap akan tercipta sebuah tatanan yang adil, yang memancarkan wajah Tuhan. Tentu refleksi dan aksi sangat penting bagi seorang agamawan. Belajar teori agama tanpa praktek hanyalah tindakan yang menciptakan dunia awang-awang. Sedangkan beraksi tanpa landasan iman hanyalah sebuah aktivisme kering dan bahkan bisa menjadi pragmatisme. Maka demi sempurnanya sebuah laku hidup, kita harus bisa menyeimbangkan antara beriman dan beragama dalam format teori (refleksi) dan praktek (aksi). Keduanya saling membangun. Maka yang terjadi adalah antara refleksi dan aksi menjadi sebuah kekuatan yang bulat dalam menciptakan tata dunia yang adil dan sejahtera dan diberkati Tuhan.
Itu adalah syarat minimal seorang pemeluk agama, menguasai dasar-dasar keagamaannya atau imannya. Mengapa disebut syarat minimal? Karena semua itu baru pengetahuan. Kasarnya, orang tersebut di atas baru dalam taraf belajar suatu agama. Bisa saja hal itu dipelajari oleh pemeluk agama lain bahkan seorang ateis pun. Dengan kata lain orang tersebut sedang mempelajari teori agama tertentu belum sampai tahap memahami.
Padahal dalam kenyataan hidup ini, permasalahan-permasalahan yang muncul tidak cukup dijawab dengan teori. Banyak sekali pemeluk agama berkomentar tentang suatu permasalahan. Namun semua itu bermuara pada teori saja. Selanjutnya hal itu akan menjadi sesuatu yang normatif dan mengawang-ngawang. Akhirnya yang terjadi adalah solusi yang mengawang-ngawang dan normatif itu tidak pernah mampu menyelesaikan masalah. Alih-alih menyelesaikan, menyentuh saja sudah tidak bisa.
Mengapa bisa begitu? Jelas jawabannya, agamawan tersebut hanyalah teoritikus agama tertentu. Yang dipelajari dalam agama atau iman hanya teorinya saja. Padahal ajaran iman atau agama akan mempunyai kekuatan jika semua itu diolah oleh manusia. Proses pengolahan itulah yang menjadikan manusia itu bisa mengejawantahkan teori-teori menjadi solusi-solusi nyata (tindakan).
Dalam proses pengolahan iman atau agama, manusia harus menggunakan segenap fungsi tubuh, jiwa dan rohnya. Iman tidak hanya hidup dalam pikiran. Iman juga harus dirasakan. Selanjutnya iman dikolaborasikan dalam tindakan nyata. Kesemuanya itu saling berdialektika dan membangun. Iman juga mencakup kecemasan, kegelisahan dan pengharapan akan tatanan hidup yang ideal.
Bahaya-bahaya yang menggagalkan agama dan iman sebagai tata laku dan pedoman hidup adalah ketika, pertama, agama dan iman dijadikan teori belaka. Kedua, agama dan iman dijadikan sebagai kenikmatan ritual. Ketiga, agama dan iman sebagai alat kepentingan politik oportunis.
Singkatnya agama dan iman bisa dikatakan sebagai energi ketika manusia bisa memproyeksikannya tidak hanya pada ritualistik belaka namun pada tindakan sosial. Di sinilah sebenarnya agama dan iman kembali ke khitahnya. Para nabi yang dijunjung oleh agamawan datang untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia dengan manusia. Artinya, agama dan iman yang lahir setelah kelahiran nabi itu mempunyai misi profetis. Dalam arti itu, agama dan iman harus bisa berbicara lantang pada keadilan. Selanjutnya penganutnya (bukan tukang belajar teorinya) menyatakannya menjadi bentuk gerakan-gerakan sosial. Konkret, agama dan iman melalui penganutnya harus bisa menciptakan tatanan dunia yang adil sehingga agama dan iman itu memancarkan wajah Tuhan sendiri, Sang Inspirator bagi agamawan.
Secara sederhana, keberhasilan agamawan menjadikana iman dan agamanya sebagai kekuatan sosial terlihat ketika kondisi di sekitarnya juga menunjukkan masyarakat yang beradab, adil dan sejahtera. Kita akan menjadi curiga ketika seseorang atau sekelompok orang mengaku beragama dan beriman namun lingkungan masyarakatnya kacau, korup, terjadi penindasan di sana-sini.
Kata orang, Indonesia adalah negeri yang religius. Namun korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan sosial dan penghisapan manusia masih saja terjadi. Pantaskah Indonesia disebut sebagai bangsa religius, bangsa beragama, beriman atau ber-Tuhan? Ini menjadi permenungan bagi kita semua yang mengaku beragama dan beriman. Apalagi bagi mereka yang dalam beragama juga mempelajari teori tetek-bengeknya.
Sebagai manusia beragama dan beriman kita selalu mempunyai pengharapan. Pengharapan itu adalah kelak kita bersatu dengan Tuhan Sang Kasih. Namun ketika kita masih di dunia, kita berharap akan tercipta sebuah tatanan yang adil, yang memancarkan wajah Tuhan. Tentu refleksi dan aksi sangat penting bagi seorang agamawan. Belajar teori agama tanpa praktek hanyalah tindakan yang menciptakan dunia awang-awang. Sedangkan beraksi tanpa landasan iman hanyalah sebuah aktivisme kering dan bahkan bisa menjadi pragmatisme. Maka demi sempurnanya sebuah laku hidup, kita harus bisa menyeimbangkan antara beriman dan beragama dalam format teori (refleksi) dan praktek (aksi). Keduanya saling membangun. Maka yang terjadi adalah antara refleksi dan aksi menjadi sebuah kekuatan yang bulat dalam menciptakan tata dunia yang adil dan sejahtera dan diberkati Tuhan.
Posting Komentar untuk "Teori dan Praktek"
Kesan/Pesan
Posting Komentar