Rel

Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan serangkaian kecelakaan kereta api di Indonesia. Beberapa di antaranya dicurigai disebabkan oleh kondisi rel yang rusak. Rel adalah suatu landasan kereta api untuk berjalan menuju tempat tujuan. Jadi fungsi rel sangat penting karena menjadi landasan.
Tidak hanya kereta api, manusia pun membutuhkan rel kehidupan. Rel itu adalah agama atau iman. Dengan beriman dan beragama manusia dengan percaya diri menapaki kehidupan. Melalui agama manusia berusaha menuju Tuhan, asal dan tujuan manusia beriman. Agama menjadi pijakan moral dan spiritual dalam hidup manusia. Dengan beragama manusia telah memasrahkan untuk meyakini segala nilai-nilai kehidupan dalam ajaran agamanya.
Namun kalau kita refleksikan lebih jauh, kita melihat rel kereta api di Indonesia terdiri dari dua landasan. Dua landasan itu berposisi sejajar. Antara rel satu dengan yang lainnya selalu berposisi atau berjarak sama atau sejajar. Keduanya tidak mungkin bertemu. Ini seperti agama satu dengan agama yang lainnya. Ketika rel-rel tadi masing-masing menjadi landasan kereta api, agama pun demikian. Masing-masing agama menjadi landasan bagi masing-masing pemeluknya. Jadi kedua landasan itu tidak mungkin bertemu. Jika bertemu atau berimpit, yang terjadi adalah kecelakaan. Kereta api terguling. Agama-agama pun jika berseteru akan menyebabkan hidup manusia tersungkur pada permusuhan belaka.
Arti rel yang sejajar serupa dengan agama supaya berdialog, tidak berselisih paham. Dialog tidak memaksakan suatu kebenaran tertentu kepada orang lain. Dialog adalah suatu upaya untuk saling mendengarkan, bukan memaksakan atau berdebat mengenai kebenaran iman. Dengan dialog, masing-masing pihak atau agama memperkaya diri dengan keutamaan-keutamaan yang ada. Masing-masing agama mempunyai keutamaan yang sebenarnya antara satu dengan yang lainnya sangat sulit untuk dibedakan. Melalui dialog, kecurigaan antar pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya bisa dikurangi. Dialog membutuhkan keterbukaan antar satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya dialog agama pun sebenarnya mengubah pikiran dan keakuan serta kesombongan iman pemeluk agama. Pemeluk agama akhirnya akan menemukan kesadaran baru bahwa ada eksistensi iman lain di luar iman yang dianutnya.
Rel yang terjaga jaraknya dan tidak berimpit mengandaikan bahwa masing-masing mempunyai kebenaran imani yang khas sekaligus tidak bisa disatukan. Namun masing-masing mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai landasan. Agama pun demikian. Agama selalu mempunyai sejarah, iman, ritual yang khas meskipun di sisi lain ada nilai-nilai kebenaran universal misalnya keadilan, kemanusiaan maupun cinta kasih. Kekhasan agama tidak bisa disatukan meskipun bisa saja mempunyai akar sejarah yang sama. Maka, antar agama yang satu dengan yang lain terrentang jarak yang jelas yang tidak bisa disatukan.
Namun, yang terpenting setelah sadar bahwa masing-masing agama mempunyai kekhasan, menjadi landasan hidup, dan menuju tempat yang sama, Allah, kita perlu mengupayakan cara agama-agama yang sangat beragam ini bisa hidup berdampingan. Nilai-nilai penghormatan antaragama mulai dikembangkan. Keterbukaan antar agama seharusnya diupayakan secara maksimal. Menerima eksistensi iman orang lain adalah yang paling bijak. Dalam hal ini, kita memang tidak bisa menyeragamkan iman dan agama karena hal ini merupakan pengalaman transenden yang amat personal. Masing-masing orang mempunyai dasar yang amat personal sekaligus transenden untuk memutuskan memeluk salah satu keyakinan. Tentu akan tidak baik jika seseorang memeluk agama hanya karena kepura-puraan belaka. Di sini penghayatan agama akan hilang.
Dalam ranah sosial, masing-masing pemeluk agama yang berbeda tentu akan saling bertemu. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah pencapaian upaya bersama supaya masing-masing agama bisa hidup berdampingan dan masing-masing mengupayakan keutamaan hidup untuk membangun sebuah keadaban publik. Pemeluk agama dipanggil untuk menjadi rasul-rasul yang berkeadaban.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah mengembangkan sikap inklusif atau keterbukaan dan semangat pluralisme atau keragaman untuk menuju multikulturalisme. Senada dengan Max Agus, Pr, ini adalah tahapan yang harus ditempuh karena di satu pihak, pluralisme hanya merupakan sebuah kerangka pengetahuan menyangkut sebuah peta keragaman; keanekaan. Namun, di pihak lain, multikulturalisme adalah konstruksi kesadaran yang terekspresikan dalam penghormatan terhadap pluralitas itu. Sebagai sebuah “kesadaran”, multikulturalisme akan mewujud dalam perilaku-perilaku kultural, politik, sosial, hukum, budaya yang memberikan tempat bagi keragaman. Jadi pada akhirnya agama seharusnya bisa menjadi rel menuju pada keadaban publik.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

Posting Komentar untuk "Rel"