Zaman yang kian maju ini ternyata membuat manusia menjadi kian tergesa-gesa untuk menyikapi berbagai persoalan. Semua hal seperti tentang berlaku hidup, berekonomi maupun berpolitik diselesaikan secara tergesa dengan mengabaikan keutamaan. Ketergesa-gesaan ini memicu manusia-manusia untuk mengarahkan hidupnya hanya pada hasil akhirnya saja. Karena hanya mengarahkan segala sesuatu pada hasilnya saja maka, manusia sekarang tidak memerhatikan prosesnya dari kacamata kemanusiaan. Mereka lebih melihat pada kepentingan diri mereka sendiri semata.
Kita bisa melihat gejala ini di negeri kita. Ketika rakyat masih berkesusahan mendapat makanan pokok seperti beras, masih ada pengusaha atau pedagang yang menimbun bahan makanan atau komoditi yang berimbas pada kenaikan harga. Ketika rakyat masih kelaparan, Negara ini dinodai oleh perilaku korup beberapa pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jelas semua tindakan buruk itu hanya untuk mengenyangkan perut sendiri dan memuaskan hasrat keserakahan. Selain itu negeri ini pun masih diwarnai oleh citra buruk perpolitikan. Para politikus masih suka bersikap pragmatis tanpa visi dan tidak beretika politik.
Namun banyak orang yang menganggap bahwa hal itu adalah wajar. Toh itu juga dunia, ada kebaikan pun ada keburukan. Sementara orang menganggap bahwa ada suatu wilayah yang dianggap suci yaitu agama. Dengan mendengar, melihat, dan memeluk agama, manusia menganggap seolah dirinya dan dunia ini akan menjadi suci. Maka tidak heran banyak pihak selalu mengandalkan agama sebagai solusi bagi semua permasalahan yang muncul. Namun sejarah mencatat bahwa agama tidak selamanya bisa menciptakan kondisi yang baik meskipun keberhasilan agama dalam membentuk perdamaian juga tidak bisa dimungkiri.
Di dunia ini konflik dan kekerasan berbasis agama telah menodai persaudaraan dan solidaritas umat manusia yang sebenarnya adalah citra Allah sendiri (Imagio Dei). Memang agama lahir dengan membawa potensi konflik bagi agama yang lainnya. Hal ini wajar karena menyangkut iman dan prinsip hidup seseorang. Namun sejatinya agama-agama yang ada sama-sama mempunyai visi keadilan. Hal ini dapat kita lihat bahwa lahirnya agama didahului oleh seorang tokoh atau nabi yang mempunyai keterlibatan membebaskan manusia dari ketidakadilan. Tidak hanya itu tokoh atau nabi itu pun mengajak umatnya untuk berdamai dengan Allah. Artinya kondisi pada saat itu adalah kondisi yang gelap, korup, kejam, kafir dan jauh dari ketidakadilan.
Namun sayang, setelah pengikut agama bertambah banyak dan mereka mulai melembagakan agama sebagai kekuatan iman maupun sosial permasalahan datang lagi. Permasalahan itu adalah tentang kebenaran. Masing-masing pemeluk mempunyai kebenaran-kebenaran yang dianutnya dan hal ini seringkali tidak sama satu dengan yang lainnya. Bahkan di antara mereka saling berseteru untuk memenangkan keyakinannya baik seagama maupun lain agama. Lalu konflik maupun perang muncul dengan merenggut banyak korban.
Rupanya banyak orang tergesa-gesa menilai agamanya adalah yang paling benar. Akhirnya yang terjadi adalah pembenaran-pembenaran tindakan yang dilakukan oleh mereka. Semua didasarkan pada kebenaran agamanya secara literer semata. Ayat-ayat dalam kitab suci dimaknai secara harafiah sehingga timbul distorsi antara agama yang membebaskan menjadi agama yang membinasakan.
Menilai bahwa agama yang dianutnya adalah benar adalah sesuatu yang baik karena agama adalah pegangan hidup. Namun, menilai agama dan keyakinan lain salah adalah sesuatu yang menyalahi hasrat manusia untuk menggapai sesuatu yang luhur dan mulia berdasarkan caranya masing-masing. Pada dasarnya agama adalah salah satu cara atau sarana untuk menggapai keluhuran. Jadi agama bukan tujuan itu sendiri. Tujuan hidup manusia adalah Allah itu sendiri.
Banyak orang tergesa-gesa menilai bahwa agama dan iman orang lain adalah salah. Ketergesaan ini karena pemeluk agama hanya melihat ajaran berdasarkan teks yang ada pada kitab suci secara apa adanya atau mentah-mentah. Inilah yang menyebabkan kebutaan-kebutaan terhadap sinar agama lain. Padahal setiap agama lahir dipengaruhi oleh sejarah dan budaya pada masanya. Sebagai contoh, untuk mempelajari agama Islam, Kristen dan Yahudi tidak bisa dilakukan secara terpisah. Hal ini penting mengingat sejarah dan budaya pada ketiga agama tersebut mempunyai akar yang sama yaitu berawal dari Abraham.
Banyak orang tergesa mengadili mereka yang dianggap kafir seolah binatang yang harus dimusnahkan. Ini adalah ketergesa-gesaan menilai orang lain. Sepatutnya orang tersebut sebelum menilai layak merefleksikan ekspresi keagamaannya. Misalnya apakah pembawaan dirinya bisa membuat pengikut agama lain terpesona? Lalu apakah ekspresi keagamaannya membuat pengikut lain merasa sejuk. Atau jangan-jangan dirinya malah membuat resah dan trauma orang untuk memeluk agamanya. Maka sudahilah segala bentuk konflik dan kecurigaan karena pada dasarnya setiap agama memancarkan nilai-nilai kebenaran yang menerangi semua orang.
Posting Komentar untuk "Tergesa-gesa"
Kesan/Pesan
Posting Komentar