SENJA YANG INDAH
Suara gesekan biola itu begitu menyayat hati, tapi menghibur. Seakan-akan duka yang melanda batin tiap orang yang mendengarnya sirna begitu saja. Seorang pemain biola mengamen di sebuah lokasi perempatan kota. Sejak dia mangkal di tempat itu suasana yang biasa-biasa saja seakan berubah dengan sangat drastis. Perempatan yang ramai itu menjadi sebuah tempat bernuansa sebuah kafe. Hal ini bisa dibenarkan karena lagu-lagu yang dibawakan oleh gesekan biolanya adalah lagu yang biasa dinyanyikan di kafe.Tiba-tiba lampu merah menyala. Sebuah mobil mewah buatan Jerman nyaris tanpa suara berhenti dengan anggunnya. Arya, penggesek biola itu pun langsung menghampiri barang mewah itu. Sebuah lagu Unchained Melody mengalun dengan anggun seanggun mobil di depan matanya. Kaca samping dekat stir terbuka perlahan, seraut wajah memandang ramah dengan senyumnya. Cantik dengan rambut tergerai. Tubuhnya terbalut busana berwarna serba hitam.“Mas terima kasih untuk lagunya!” kata perempuan berbaju hitam itu sambil menyodorkan selembar uang, sepuluh ribu rupiah.“Terima kasih kembali, besok lewat sini lagi ya!” jawab lelaki seniman jalanan itu.Wajah perempuan itu pun sekali lagi memandang laki-laki di depannya. Beberapa detik kemudian si mewah tunggangan perempuan itu pun melaju. Nyaris tanpa suara. Arya pun menuju trotoar dekat pangkalan becak. Pak Somad yang mengetahui peristiwa sebuah lagu berharga sepuluh ribu langsung tersenyum melihat kebingungan Arya.“Wah rejeki nomplok nih, satu lagu dapat sepuluh ribu. Sepertinya patut disyukuri anak muda. Aku yang mengayuh ribuan genjotan becak paling-paling baru dapat sepuluh ribu!” ujar lelaki setengah baya.“Ah Pak Somad itu saja baru kali ini ada orang memberi uang sepuluh ribu untuk satu lagu. Tapi begini saja mari kita rayakan rejeki ini Pak Somad. Sudah siang begini kita belum sarapan mari Pak saya bayari!” ajak Arya dengan penuh semangat.Kedua orang itu pun meninggalkan pangkalan becak yang sepi dari calon penumpang. Hanya sebuah becak milik Pak Somad parkir dengan memelas karena sejak tadi belum mengantar satu orang penumpang pun. Warung nasi kelas ekonomi itu ramai dikunjungi orang. Kedua orang itu langsung memesan makanan. Nasi dengan lauk ikan tawes, kebetulan makanan kegemaran mereka berdua. Lahap sekali mereka menikmati makanan yang jarang mereka nikmati berdua. Pak Somad lahap karena makanan itu gratis. Sedangkan Arya lahap karena lapar dan wajah perempuan tadi yang begitu cantik memberi uang sepuluh ribu. Wajah itu, wajah impiannya ketika dia masih kuliah di sebuah universitas. Wajah kekasihnya dulu sangat mirip dengan pengendara mobil mewah tersebut. Kegelisahan itu dilampiaskan Arya dengan membayangkan ikan tawes seperti seraut wajah perempuan itu. Dengan gerakan yang halus dan mesra laksana memperlakukan wajah perempuan dalam adegan mesra. Secuil demi secuil daging tawes itu masuk ke mulutnya. Nampak kesyahwatan melekat di wajah pengamen itu.Sebenarnya tidak pantas Arya yang sudah berumur hampir empat puluh tahun itu disebut pemuda. Tapi karena dirinya melajang tampak jadi lebih muda, gagah dengan rambutnya yang gondrong lurus mirip pendekar di film-film Mandarin. Hari semakin siang. Seperti biasa perempatan itu dipenuhi lalu lalang kendaraan. Suasana yang ramai biasanya hal yang didambakan oleh orang-orang seperti Arya dan Pak somad serta kawan-kawan seprofesinya.“Perempuan itu, apakah dia?” tanya Arya di sebuah pojok emperan toko dekat perempatan. Wajah pemuda itu tampak murung mencoba merangkai pecahan-pecahan peristiwa masa silamnya. Tampak matanya terpejam seakan-akan masuk ke dalam konsentrasi tertinggi berada di sebuah dunia yang asing bagi orang lain. Tapi baginya dunia itu adalah tempat yang sangat akrab bahkan suara dan bau tempat itu pun masih terasa. Bau wangi yang memenuhi sebuah taman.“Mas Arya, apakah mencintai saya?” tanya seorang perempuan.“Iya Ranti apakah kamu meragukanku?” Arya balik bertanya.Mereka tenggelam dalam cinta yang memeluk. Ciuman mesra mendarat di pipi Ranti gadis pujaannya.“Hei bangun-bangun siang-siang tidur. Banyak rejeki pada bersliweran dibiarkan saja!” teriak seseorang.“Apa-apaan ini, mengganggu orang saja. Tahu nggak kalau aku sedang konsentrasi tinggi?” kata Arya dengan wajah kesal.“Ah paling-paling konsentrasi mesum. Tuh lihat lagi ramai, malahan kamu tinggalkan. Rejeki jangan ditolak . Ambil biolamu. Sekarang giliranmu aku mau istirahat dulu!” begitulah kata-kata Sikram sambil meletakkan gitar tuanya.Biola dan penggesek diambilnya. Kemudian kakinya yang masih gontai melangkah ke deretan mobil yang terhenti oleh nyala lampu merah. Alunan Unchained Melody pun terdengar indah. Kaca jendela sebuah mobil buatan Jepang itu pun terbuka penuh. Wajah itu pun terlihat jelas, cantik. Arya pun mendekat, matanya menangkap selembar uang yang masih tergenggam oleh jemari cantik itu. Posisi duduk perempuan itu memang lebih rendah. Pemuda lajang itu pun mau tak mau melihat sebuah pemandangan indah seorang perempuan. Belahan dada yang indah, serta paha yang minim dengan pakaian. Dasar, kadang perempuan juga suka mengumbar bagian tubuhnya yang disukai laki-laki.“Terima kasih, Mbak, nanti lewat jalan ini lagi ya? “ kata pemuda itu sambil menerima selembar uang seribu rupiah.“Hari ini aku jadi aneh, biasanya aku baik-baik saja. Tapi perasaanku sekarang jadi tidak karuan. Gara-gara perempuan berbaju hitam itu. Apakah dia?”. Dia berkata sendirian, jawaban pun tidak diperolehnya. Hanya suara bising knalpot lalu lintas di perempatan itu.Sesiang itu dia hanya mendapat uang sejumlah dua puluh satu ribu tujuh ratus rupiah. Pengamen ecek-ecek saja penghasilan seharinya bisa sampai tiga puluh ribu. Tapi sepertinya dia tidak bernafsu lagi untuk menggesek biolanya. Sebenarnya dia seorang penggesek biola yang bagus. Pernah pula dirinya ditawari seseorang untuk bekerja di kafe sebagai pemusik. Tapi ditolaknya dengan alasan dirinya tidak mau terikat. Alasan ini pula yang menyebabkan dirinya tidak mau bekerja di sebuah perusahaan, padahal ijazah sarjana ekonominya tergeletak di laci lemari bersama buku-buku literaturnya yang mirip perpustakaan.“Ah kebebasan ini bisa kunikmati selama lima belas tahun, tapi yang aku herankan aku tidak bisa bebas dari Ranti. Lagu kita selalu ku mainkan di jalanan Ranti. Unchained Melody. Biar semua benda dan makhluk yang ada bisa mendengarnya dan tetap merasakan cintaku padamu!” ujarnya di kamarnya. Sebuah kamar yang sederhana itu sepi hanya bunyi tetesan air hujan yang beradu dengan atap seng rumah itu.“Apakah dia Rantiku yang dulu. Di mana dia sejak kami berpisah!” tanya pengamen itu. Adegan masa lalu terulang kembali membentuk film dirinya. Sekali lagi pengamen itu terlempar di sebuah dunia yang akrab dengan dengannya bahkan warna dan baunya. Warna baju kekasihnya dan bau parfum Ranti.“Mas Arya lebih baik kita berpisah, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Aku ingin mengejar karirku sebagai seorang model terkenal. Aku tidak ingin hidup seperti ini terus. Ijinkan aku pergi mengejar cita-citaku. Demi cintamu padaku, Mas Arya, ijinkan aku pergi. Lupakan aku. Carilah orang yang lebih baik dariku!” kata Ranti dengan diiringi tetesan air mata. Walau begitu masih tampak wajah cantiknya yang tetap menyejukkan hati Arya.“Baiklah jika itu kemauanmu. Aku relakan kamu pergi. Tapi jika kamu ingin kembali aku selalu menunggumu!” jawab Arya kemudian langsung pergi dalam guyuran air hujan bulan November.Hari yang cerah, berarti rejeki cerah bagi Arya. Deretan mobil mulai terhenti oleh lampu merah. Arya melihat mobil kemarin yang dijumpai. Di dalamnya ada seorang perempuan yang sangat menawan hati. Tiba-tiba tangannya kaku tidak bisa menggerakkan penggesek biolanya. Terkagum akan kecantikannya yang mirip kekasihnya dulu.“Mas kok tidak dimainkan lagu Unchained Melody-nya. Aku rindu lagu itu lha Mas. Sengaja aku lewat perempatan ini hanya untuk lagu itu?”Tiba-tiba nyala lampu merah berubah menjadi hijau. Suara klakson beradu begitu kuat memaksa mobil buatan Jerman itu berjalan.“Mas cepat naik ke mobil, nanti main musiknya di dalam, Ayo!” perintah perempuan itu. Seperti sapi yang diberi rumput, tunduk dan menurut, Arya bergegas langsung ke dalam mobil. Kendaraan itu melaju dengan anggun. Arya duduk di samping perempuan cantik itu.“Maaf Nona apakah nanti tidak ada yang marah jika melihat saya?” tanya Arya dengan terbata-bata.“Jangan kuatir aku tidak punya keluarga, suami maupun anak, aku seorang diri. Mainkanlah biolamu sekarang!”Dalam beberapa detik lagu itu telah membius perempuan di samping Arya sehingga mobil pun dihentikan di pinggir jalan. Mata perempuan itu terpejam mengkonsentrasikan indera dengarnya menikmati alunan musik. Beberapa nafas berat keluar dari mulut dan hidungnya. Di penghujung lagu, tubuh perempuan itu berguncang, terisak dalam tangisan. Tetesan air matanya berkejaran ke bawah membasahi pangkal pahanya yang terbalut oleh celana jeans.“Ada apa Nona, apakah lagu ini membuat Anda sedih? Maafkan saya, akan kuganti dengan lagu yang lain!” kata pemuda itu.“Teruskan dengan lagu yang sama!” perintah perempuan itu.Jari-jari kiri pemuda gondrong itu pun menari menekan dawai-dawai biola, sementara itu tangan kanannya menggenggam penggesek. Suasana pun menjadi sepi, hanya alunan biola itu yang meliuk-liuk membentuk lagu “Unchained Melody”. Diulang-ulang sampai beberapa kali hampir satu jam lagu itu dimainkan berkali-kali. Tampak Arya mulai kelelahan. Bintik-bintik keringat mulai terlihat di wajahnya.“Maaf Nona, saya sudah lelah. Boleh saya istirahat dulu?” tanya si Gondrong.“Silahkan, terima kasih ya. Mendengar alunan melodi itu aku seperti terbawa ke masa lalu. Kamu membuka peristiwa itu kembali!” tutur si cantik“Apakah itu kisah yang indah?”“Ya, kisah itu indah belasan tahun yang lalu. Tapi berakhir dengan kesedihan. Aryaku telah kutinggalkan hanya untuk sebuah ambisi. Dulu aku terobsesi menjadi seorang model. Sekarang aku sudah menjadi model terkenal. Lihatlah majalah-majalah itu, gambarku banyak terpampang di sana. Aku sekarang sudah memiliki semuanya. Ketenaran, uang, rumah, mobil maupun fasilitas mewah yang lainnya. Tapi ketika aku teringat wajah Arya aku seperti membunuhnya hanya untuk mencari kepuasan diri semata!” perempuan itu mengakhiri kata-katanya.Arya terkejut. Tapi tetap disembunyikannya. Ternyata benar bahwa perempuan yang selama ini membuatnya penasaran adalah Ranti. Hatinya bersorak gembira. Akhirnya pengharapan itu akan berakhir. Kekasihnya telah kembali.“Sudahlah Nona, itu masa lalu. Kita semuanya memang punya masa lalu. Sebaik atau seburuk apapun itu bagian sejarah hidup. Lalu mengapa Anda tidak mencarinya?” tanya Arya.“Sudah kucari ke mana-mana. Bahkan teman-teman kampusnya pun tidak ada yang tahu. Aku sangat tersiksa dengan semua ini. Hidup dengan segala kemewahan menjadi tidak berarti!”“Apakah Nona masih ingat kalung berbandul ini!” tanya Arya dengan sangat tenang.“Benarkah Kau Arya?”“Benar seperti yang kaulihat. Aku percaya bahwa suatu saat sebuah cinta berbalut kesetiaan akan menemukan keindahannya tepat pada waktunya. Sekarang adalah waktunya. Selamat datang Rantiku. Aku tidak perlu menunggumu lebih lama lagi. Tapi aku hanya seperti ini. Laki-laki biasa teramat biasa. Apakah kau mau menerimaku?”Kemudian mereka bertangis-tangisan menumpahkan penyesalan dan kesedihan serta kebahagiaan. Tak terasa hari semakin senja. Burung-burung terbang bergerombol menuju ke suatu tempat. Semburat sinar matahari berwarna keemasan membias di hadapan kaca mobil mereka. Kedua orang itu masih terbius aroma kekangenan yang tertahan selama belasan tahun. Senja yang indah.


Paguyangan, November 2004

Post a Comment

Kesan/Pesan