Pariwisata Sarana Kontemplasi


Karena dana desa, pemerintah desa bersama warga membangun badan usaha milik desa (Bumdes). Salah satunya adalah dengan membangun atau mengelola destinasi wisata terkhusus jika di desanya terdapat potensi wisata yang layak dikembangkan.  Misalnya ada desa yang memiliki danau yang indah, gua yang eksotis, air terjun yang menawan, bahkan seni budayanya yang menarik. Semua dikemas menjadi destinasi pariwisata yang menarik. Dengan melihat potensi daya tarik desa, perencanaan dibuat melalui pendayagunaan potensi lokal yang ada mulai dari lingkungan tempat destinasi sampai pada warga yang dilibatkan dalam pengelolaan tersebut. Semua proyek diharapkan dapat mengangkat potensi lokal dengan melibatkan masyarakat lokal.
Dengan adanya destinasi wisata baru itu, wisatawan pun berdatangan. Mereka ingin berlibur dan menyegarkan diri setelah sekian lama berjibaku dalam berbagai kesibukan yang melelahkan fisik maupun mental. Mereka ingin mengendurkan urat syaraf dan bisa kembali ke rutinitas lagi dengan penuh semangat dengan mendatangi tempat wisata tersebut. Mereka ingin liburan itu menjadi saat yang menyembuhkan bagi jiwa dan raganya. Sehingga ketika mereka kembali ke rutinitas harian, mereka bisa berkarya dengan penuh kesegaran baru.

Dengan melihat kebutuhan wisatawan, maka pihak pengelola wisata perlu membantu wisatawan agar mengalami kesegaran baik lahir maupun batin. Walau bagaimana pun juga, pariwisata tetap bisa menjadi sarana perjumpaan seseorang dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Dari sanalah diharapkan bisa timbul kekaguman yang luar biasa. Ketika seseorang mengalami kekaguman atau keterpesonaan terhadap ciptaan, diharapkan ia selanjutnya mau menjadi penjaga ciptaan.
Keterpesonaan atau kekaguman itu menjadi kekuatan seseorang untuk melakukan tindakan nyata dalam menjaga keutuhan ciptaan. Selain memunculkan semangat baru untuk berkarya dalam rutinitas, dari sanalah biasanya muncul aneka kreativitas yang kaya untuk menjaga keutuhan ciptaan. Selain itu, perjumpaan dengan ciptaan lain membuat seseorang mempunyai inspirasi-inspirasi baru sehingga itu menunjang seseorang ketika ia berkarya dalam keseharian. Karena hal itu, maka banyak perusahaan-perusahaan yang juga mengalokasikan waktunya untuk mengadakan liburan atau piknik bersama karyawan-karyawannya supaya mereka bisa menyegarkan diri sehingga bisa bekerja lebih produktif.
Tentu akan sangat bernilai jika tempat pariwisata tidak hanya menawarkan kenikmatan inderawi, memanjakan indera-indera tubuh manusias. Namun, pariwisata menjadi suatu perjumpaan yang kontemplatif, sehingga seseorang benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan melalui ciptaan-ciptaan yang ditemuinya.
Paus Fransiskus dalam audiensi umum dengan umat di halaman Basilika St. Petrus, Vatikan,  5 September 2018 menyampaikan, masyarakat hari ini haus akan hiburan dan liburan. Industri hiburan benar-benar berkembang pesat, dan iklan menggambarkan dunia yang ideal sebagai satu taman hiburan besar di mana semua orang dapat bersenang-senang di dalamnya. Konsep kehidupan yang berlaku saat ini tidak memiliki pusat untuk beraktivitas dan berkomitmen, tetapi konsep yang ada lebih mengenai pelarian, menghasilkan uang untuk bersenang-senang, dan memuaskan diri sendiri. Modelnya adalah gambaran orang sukses yang mampu memberikan banyak ruang dan beragam bentuk kesenangan. Tetapi mentalitas ini membuat satu celah ke arah ketidakpuasan hidup yang kemudian dibius oleh kesenangan yang bukannya memberi istirahat, namun justru membawa kepada keterasingan yang lari dari kenyataan. Dalam sejarahnya, manusia tidak pernah banyak beristirahat seperti hari ini, namun demikian manusia tidak pernah mengalami rasa hampa sebanyak hari ini sebelumnya! Kesempatan untuk menghibur diri, pergi keluar, berlayar, bepergian; tetapi dari semua itu banyak hal tidak memberi Anda kepenuhan hati di dalam diri. Tentu saja, hal-hal itu kemudian tidak memberi Anda waktu untuk istirahat.
Pernyataan Paus Fransiskus hendak menegaskan bahwa manusia saat ini sedang dirundung suasana kejiwaan yang lebih berat. Manusia-manusia saat ini membutuhkan sapaan yang lebih menyembuhkan. Manusia modern saat ini membutuhkan cara yang sungguh khusus terlebih pada era pasca industrial dan milenial ini.
Pernyaataan Paus Fransiskus tersebut tidak hanya perlu dijawab dalam aspek spiritualitas Gerejawi semata. Namun, pernyataan itu juga menjadi tantangan dalam dunia pariwisata bagaimana menyapa manusia-manusia yang mengalami kelelahan dalam hidup yang semakin pelik dan kompleks ini dengan beraneka ragam permasalahan yang menderanya.
Selama ini banyak pengalaman yang membuktikan bahwa relasi yang intim antara manusia dengan alam ciptaan menciptakan kesehatan fisik maupun spiritual yang baik. Maka, saat ini banyak orang mulai berbalik ke ruang-ruang natural. Mereka pergi ke tempat-tempat yang masih asri dengan pepohonan tinggi yang menjulang dan rindang. Mereka menghanyutkan diri dalam sejuknya air telaga yang jernih bak kaca. Ada juga yang sengaja berjalan ke pedesaan, ikut menanam padi bersama warga, menghirup udara pedesaan yang sejuk. Bahkan saat ini ada suatu kegiatan yang disebut Forest Bathing, pergi ke hutan menikmati suasana hutan dan membangun relasi dengan hutan. Ada pula yang pergi ke pedesaan dengan kultur yang masih terjaga, menikmati keindahan budaya dan kesenian yang masih dihidupi dengan sahaja. Dan ternyata semua mendatangkan kebahagiaan bagi para pengunjung.
Dunia wisata sebaiknya menjawab hal tersebut,  menjadi wahana pendamaian antara manusia dengan dirinya, manusia dengan sesama ciptaan, dan manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain, selain untuk masuk ke dalam diri, membangun relasi sosial yang sehat, pariwisata mestinya bisa menghadirkan aura religiusitas. Mungkin ini akan mudah jika itu semua masuk dalam wilayah wisata religi yang menyuguhkan ekspresi keagungan Tuhan dalam tradisi agama atau kepercayaan. Namun, wisata bukan religi, yang berlokus alam dan budaya pun sebenarnya bisa menghadirkan nuansa religiusitas. Yang menjadi tantangan adalah cara nuansa religisitas itu bisa dimunculkan dan dipancarkan.
Sangat mungkin, di sana bisa dihadirkan nilai-nilai religiusitas yang bisa menyegarkan kehidupan orang-orang zaman sekarang yang mengalami kelelahan dalam kesehariannya karena terlalu sibuk membenahi sisi ekonominya. Ketika seseorang melihat hutan yang asri dan sejuk, orang akan mengalami kehadiran Tuhan dan kebaikan Tuhan melalui hutan. Ketika seseorang berada di pinggiran sungai yang jernih dengan ikan-ikan yang berenang, seseorang akan tersadarkan bahwa Allah hadir dalam riuh gemuruh air sungai yang mengalir. Bahkan beberapa tokoh spiritual pun banyak mengalami “insight” ketika berada untuk sementara waktu di pinggir sungai.
Saya rasa kita pun akan mengalami hal yang sama yakni, mengalami kesegaran jiwa bahkan bisa mengalami kehadiran Tuhan ketika berada di pinggir sungai. Bahkan di beberapa tempat seperti hutan yang lebat, air terjun, pantai dengan ombak yang terus bergulung pun kita mengalami hadirat Tuhan. Terlebih lagi jika semua itu dirawat dengan baik oleh manusia.
Maka, yang menarik kemudian dan paling mungkin dihadirkan adalah, cara pengelola atau warga pariwisata mengelola destinasi wisatanya. Jika mereka bisa memperlakukan destinasi wisata itu dengan baik, penuh hormat, dan bisa menghadirkan suatu relasi yang mutualistik, bukan relasi eksploitatif, di sanalah sebenarnya nuansa religiusitas bisa muncul dari pariwisata. Konkretnya, kelestarian dan keindahan tempat-tempat tersebut mesti dijaga dengan baik, bukan didirikan bangunan-bangunan yang artifisial yang membuat manusia terasing dengan lingkungan, apalagi merusak ekosistem di tempat tersebut.
Saya pikir ini menarik jika bisa diwujudkan. Manusia yang semakin dekat dengan alam ciptaan, mengalami relasi yang dekat dan saling menguntungkan hingga manusia tersadar bahwa tanpa alam ciptaan, manusia tak bisa hidup dengan baik, baik raga maupun jiwa. Sebaliknya, jika manusia tidak berelasi baik dengan alam ciptaan, bahkan merusaknya, kerugianlah yang akan dituai manusia.
Hal ini relevan dengan pesan para uskup dalam Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) 2001 tentang Lingkungan Hidup yang ditandatangani oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ (Ketua Presidium) dan Mgr. Ign. Suharyo (Sekretaris Jenderal). Kepada manusia Tuhan menyerahkan bumi dan segala isinya agar dijaga dengan penuh tanggung jawab dan  kasih sayang. Karena itu bilamana perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab dalam pengurasan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan hidup berlangsung terus, maka keutuhan alam ciptaan tidak terpelihara dan hidup manusia sendiri menderita kerugian.
Perlakuan buruk oleh manusia pada alam ciptaan, akan berakhir buruk pada manusia itu sendiri.


Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "Pariwisata Sarana Kontemplasi"