Kita tentu sangat miris
dengan berbagai kerusakan alam ciptaan. Sebagian besar itu semua terjadi karena
ulah manusia. Tanah tercemar, air tercemar, udara terpolusi. Akibatnya
makhluk-makhluk yang menggantungkan hidup pada alam pun terancam terganggu.
Berbicara tentang
keselamatan ekologi, saya akan menunjukkan beberapa poin yang kiranya menjadi
perhatian yaitu tanah, air, udara, sampah, energi dan masa depan pangan. Kelima
hal itu menjadi jaminan kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Semua itu
sebenarnya saling berhubungan. Demikian juga antarmakhluk ciptaan. Mereka
saling terhubung satu dengan yang lain membentuk komunitas kehidupan.
Tanah saat ini
mengalami beban lingkungan yang luar biasa. Di samping masifnya penggunaan
pestisida buatan yang mengancam kehidupan, tanah juga mengalami kehilangann
kesuburan akibat penggunaan pupuk yang tak ramah lingkungan.
Kondisi air pun tak
menunjukkan kabar yang menggembirakan. Di samping terancam karena polusi pabrik
dari perusahaan tak bertanggungjawab,
rumah tanggapun tak kalah hebat dalam mencemari air. Limbah-limbah rumah tangga
dari bahan-bahan yang tak ramah lingkungan cukup masif mencemari air. Ketersediaan
air pun cukup terancam karena masifnya penggundulan hutan, alih fungsi lahan,
dan pertambangan yang mengabaikan keselamatan lingkungan. Bahkan di daerah
tertentu, alih-alih mendapat air bersih, mendapat air apa adanya, meski tak
berkualitas, itu pun sudah baik.
Kondisi
udara pun cukup memprihatinkan. Emisi gas buangan dari industri maupun asap
kendaraan cukup masif mencemari udara kita. Akibatnya penyakit sesak pernafasan
cukup banyak. Gas-gas tersebut juga mengakibatkan pemanasan global yang
berdampak pada perubahan iklim.
Seiring dengan
perkembangan industri dan gaya hidup masyarakat, sampah semakin menumpuk.
Banyak sampah yang terkelola dengan baik. Menurut Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang
telah 10 tahun mengikuti isu sampah, satu orang di Indonesia rata-rata
menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. (http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/menyambut-hari-peduli-sampah-nasional-2016).
Kantong
plastik biasa membutuhkan waktu sepuluh sampai 12 tahun untuk terurai. (http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150314083106-255-39061/jenis-sampah-dan-lama-proses-penghancurannya/). Bahkan dalam lingkungan tertentu, penguraian kantong
plastik bisa lebih lama dari itu.
Permasalahan sampah makin dipicu
oleh yang biasa disebut Paus Fransiskus sebagai budaya membuang atau budaya
sekali pakai.
Energi saat ini menjadi
isu strategis mengingat akhir-akhir ini mulai terjadi kelangkaan energi. Demikian
pula energi yang masih banyak dipakai masyarakat adalah energi yang tak ramah
lingkungan bahkan ada energi yang berpotensi mengancam keselamatan manusia
seperti energi nuklir.
Masa depan pangan pun
menjadi isu penting yang mendapat perhatian. Seiring dengan bertambahnya
populasi penduduk dunia, kebutuhan pangan pun semakin bertambah. Namun seiring
dengan itu, pangan pun mendapatkan tantangan dari kapitalisasi industri
pertanian seperti industri benih yang mengancam ketersediaan benih-benih lokal.
Di samping itu, pangan sehat pun mulai terancam karena banyak produk pertanian
yang terpapar obat-obat pertanian yang tak ramah lingkungan.
Semua itu memang harus
disikapi, direfleksikan kembali dan diantisipasi dengan baik, jika kita ingin
mempertahankan kelayakan planet ini untuk dihuni oleh kita dan generasi sesudah
kita.
Harmoni antara
Pencipta, manusia dan semua ciptaan dihancurkan karena kita mengira dapat
mengambil tempat Allah, dan menolak untuk mengakui diri sebagai makhluk yang
terbatas. Hal ini juga telah menyebabkan salah pengertian atas mandat untuk “menaklukan”
bumi (lih Kej 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kej 2:15).
Akibatnya, hubungan yang awalnya
harmonis antara manusia dengan alam, berubah menjadi konflik (lih Kej 3:17-19)
(LS 66).
Dalam buku Kosmologi Kristen,
Thomas Berry mengingatkan kita supaya sadar. Kita saat ini mesti insaf bahwa
perjalanan kita terus berlangsung menuju masa depan dalam integritas akan
sistem kehidupan Bumi yang senantiasa membentang, yang pada saat ini sedang
dalam kondisi terancam. Kegagalan terbesar kita adalah menghancurkan perjalanan
begitu banyak spesies yang paling luar biasa dari komunitas hidup (hal. 217).
Paus Fransiskus menegaskan dalam ensiklik Laudato Si’, jika bumi diberikan kepada
kita, kita tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi
dan produktivitas untuk kepentingan pribadi. Kita berbicara tentang solidaritas
antar generasi bukan sebagai sikap opsional, tetapi sebagai soal mendasar
keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik mereka yang akan datang (LS
159).
Yukio Aoshima dalam buku
Kota dan Lingkungan (Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi) halaman xx
dengan berlatar belakang masyarakat Tokyo mengenalkan visi masyarakat
berwawasan ekologi sebagai solusi untuk menyelamatkan planet bumi. “...kami di
Tokyo menganggap istilah “masyarakat berwawasan ekologi” sebagai sebuah
masyarakat yang peduli terhadap sinar matahari, udara, air, tanah,
tumbuh-tumbuhan hijau, dan karunia-karunia alam lainnya; sebuah masyarakat yang
mengendalikan konsumsi sumber-sumber alam dan energi secara massal dan sebuah
generasi yang tidak berguna, yang berusaha keras mendaur-ulang menggunakan
sumber-sumber alam secara efektif; sebuah masyarakat yang berusaha keras
kembali ke alam dengan membuang sampah yang telah diolah atau didaur ulang
untuk memperkecil beban lingkungan”.
Sedangkan Ernest
Callenbach dalam buku Kota dan Lingkungan (Pendekatan Baru Masyarakat
Berwawasan Ekologi) halaman 23 menegaskan pentingnya ekosistem yang berkelanjutan. “Sebuah ekosistem atau
masyarakat bisa berkelanjutan dalam jangka menengah hingga jangka panjang
(seratus tahun atau lebih) jika mendaur ulang hampir seluruh “nutrien” (dan
barang perlengkapan lain) serta menggunakan energi secara sangat efisien sama
dengan sistem kehidupan”.
Ekologi
integral sebagai solusi
Paus Fransiskus melalui ensiklik Laudato Si’ mengusulkan sebuah solusi
mengingat semuanya saling terkait yakni ekologi integral yang mempunyai dimensi
manusiawi dan sosial. Paus menyinggung pentingnya ekologi lingkungan, ekonomi
dan sosial; ekologi budaya, ekologi hidup sehari-hari; prinsip kesejahteraan
umum; dan keadilan antargenerasi.
Menurut
Paus Fransiskus, tidak ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan
dan yang lain sosial, tetapi satu krisis sosial-lingkungan yang kompleks.
Dengan demikian sebenarnya, manusia tidak perlu memisah-misahkan
masalah-masalah tersebut. Yang diperlukan sebenarnya adalah cara pandang integral
dalam segala lini kehidupan yang pasti akan bersangkut paut dengan ekologi.
Dalam hal ini, ekologi juga tersangkut dengan penghormatan pada kehidupan semua
ciptaan dan keutuhan ciptaan.
Paus Fransiskus menegaskan
bahwa cara terbaik untuk menempatkan manusia pada tempatnya, dan untuk
mengakhiri klaimnya sebagai penguasa absolut atas bumi, adalah gambaran tentang
sosok Bapa, Pencipta dan satu-satunya pemilik dunia. Jika tidak demikian,
manusia akan selalu condong untuk memaksakan aturan dan kepentingannya sendiri
pada realitas (LS 75).
Dialog
baru
Paus
Fransiskus menyarankan untuk membangun dialog baru dalam
menyelamatkan planet bumi. “Saya
mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita
membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan
semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami, dan akar manusianya,
menyangkut dan menjadi keprihatinan kita semua (LS 14)”. Ini sebenarnya menjadi pintu masuk untuk
merajut kerja sama dengan berbagai komunitas.
Paus Fransiskus menegaskan,,
dalam menyelamatkan alam, umat manusia harus berubah. “Banyak hal yang harus diarahkan kembali, tetapi terutama
umat manusia harus berubah. Yang dibutuhkan ialah kesadaran pada asal kita
bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi
dengan semua makhluk (LS 202).
Menurutnya, lingkungan alam
adalah harta kita bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua
orang. Jika sesuatu dijadikan
milik kita sendiri, itu hanya untuk mengelolanya demi kesejahteraan semua. Jika
tidak, kita memberatkan hati nurani kita dengan beban menyangkal keberadaan
orang lain (LS 95).
Sonny Keraf dalam Krisis dan
Bencana Lingkungan Hidup Global (2010) menegaskan perlunya perubahan cara
pandang kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Yang dibutuhkan adalah sebuah
kesadaran baru bahwa alam dan lingkungan hidup mempunyai nilai pada dirinya
sendiri. Bahwa alam itu berharga. Alam tidak sekadar mempunyai nilai
instrumental bagi kepentingan manusia. Dan karena itu, manusia mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup,
terlepas dari kegunaannya bagi kepentingan manusia (hal. 115).
Paus pun mengatakan hal
yang sama. “...kita dipanggil untuk mengakui bahwa makhluk-makhluk hidup lainnya
memiliki nilai intrinsik di hadapan Allah, dan “dengan keberadaannya pun mereka
sudah memuji dan memuliakan-Nya,” karena “Tuhan bersukacita dalam segala
karya-Nya” (Mazmur 104:31).
(LS
69)
Cara pandang yang menganggap
di luar diri kita hanyalah instrumen pemuas kebutuhan berpotensi melahirkan
eksploitasi. Tidak hanya dengan alam
ciptaan non manusia, terhadap sesama manusia pun terjadi eksploitasi.
Perdagangan manusia (perempuan dan anak), eksploitasi buruh murah demi mengejar
keuntungan perusahaan, eksploitasi pekerja anak menjadi gambaran bahwa manusia
memiliki cara pandang di luar dirinya-selain dirinya hanya sebagai instrumen
pemuas kebutuhan.
Eksploitasi melahirkan penindasan dan ketidakadilan.
Tidak ada kesetaraan. Ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Ada yang
dimuliakan dan ada yang dihancurkan. Manusia semakin kaya, alam ciptaan semakin
hancur. Manusia semakin kaya, manusia lainnya semakin tidak bermartabat karena
dieksploitasi.
Dengan hancurnya relasi manusia dengan alam ciptaan, sebenarnya
pelan atau cepat, itu semua mengarah pada kehancuran, bahkan tidak hanya
individu tapi komunitas kehidupan. Kehancuran satu individu menjadi kehancuran
massal. Kesadaran (penyadaran) bahwa manusia adalah makhluk yang bergantung
kepada makhluk lain menjadi penting sekaligus mendesak dan menjadi pekerjaan
rumah bersama demi terbentuknya persekutuan kehidupan.
Melalui
pesan Hari Perdamaian Sedunia 1990, Santo Paus Yohanes Paulus II menegaskan,
krisis ekologis merupakan suatu persoalan moral. Orang Kristen harus menyadari
bahwa tanggung jawab atas keseimbangan tatanan ciptaan adalah unsur esensial
iman. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diterima kalau
merusak tatanan alam yang berkelanjutan.
Pertobatan
ekologis
Tanggung jawab
terhadap bumi milik Allah ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan
akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara
makhluk-makhluk di dunia ini, sebab “Dia memberi perintah, maka semuanya
tercipta. Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi
ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Maz 148:5b-6) (LS 68).
Dalam
pertobatan ekologis ini, kita dipanggil untuk beralih dari habitus lama menuju
habitus baru dalam menjalani kehidupan di planet ini. Tentu ada banyak hal yang
bisa dilakukan, mulai dari cara berproduksi, cara distribusi, maupun cara
mengonsumsi mesti harus dilihat kembali. Kita harus memastikan semua itu harus ramah
pada ciptaan.
Kita
mesti memperbaiki cara hadir kita di muka bumi. Kita tak lagi menganggap diri
sebagai pusat ciptaan, sementara yang lain sebagai instrumen kehidupan. Kita
adalah bagian dari komunitas kehidupan yang saling terajut satu dengan yang
lain. Kelebihan kita sebagai manusia yang dianugerahi akal budi adalah untuk
membangun relasi harmonis antarmakhluk demi terselenggaranya kehidupan.
Kita
juga diajak untuk kembali untuk secara sadar merajut relasi yang harmonis antar
kita dengan Tuhan, kita dengan sesama manusia dan kita dengan sesama alam
ciptaan.
إرسال تعليق for "Memaknai Kembali Cara Berada Kita di Planet Bumi"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق