Ketika hati
galau tak terkira, kita kerap berusaha untuk menepi bersama alam selama
beberapa waktu. Kita pergi ke lereng-lereng gunung, pantai, hutan, atau sungai.
Di sana mungkin tak banyak yang bisa dilakukan kecuali sekadar melihat
keindahan pemandangan, merasakan kesejukan udara, mendapati situasi yang
diliputi kegembiraan ataupun belajar
pada kejadian-kejadian alam.
Kita belajar
pada rombongan semut tentang gotong royong atau saling membantu dalam
menyelesaikan pekerjaan. Kita belajar pada air yang selalu menyesuaikan diri
pada wadahnya. Kita belajar pada tetesan air tentang bekerja keras dan
konsistensi ketika tetesan itu berhasil melubangi batu yang amat keras
sekalipun. Kita belajar pada lumut yang dengan perlahan namun bisa melapukkan
batu yang keras.
Kita juga
belajar kasih sayang pada burung ketika induk burung yang tak pernah belajar
moral memberi makanan pada anak-anaknya. Kita juga belajar bahwa alam ini
mempunyai sirkulasi. Bahwa air ternyata mengalami sirkulasi, air menguap,
menjadi awan, mengalami kondensasi, lalu berubah menjadi titik-titik air yang
disebut hujan. Hujan itu sendiri selain memberi hidup pada manusia, tumbuhan
maupun hewan ternyata menjadi inspirasi sastra yang membuat hidup makin indah
dan bermakna.
Penyair Sapardi
Djoko Damono, pernah menulis puisi yang sangat indah “Hujan di Bulan Juni” atau
“Hujan, Jalak, dan Daun Jambu”. Dalam puisi yang disebut terakhir itu, Sapardi
menulis “Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi;
Mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adat kita yang
purba. Tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita manusia, merasa bahagia......”
Saya melihat ada
keindahan yang terbangun dari alam semesta. Tuhan Sang Pencipta pun tergambar
begitu hebat melalui alam ciptaan-Nya. Demikian pula, Tuhan yang penuh kasih
terasakan melalui fenomena alam yang mencukupi segala sesuatunya untuk semua
makhluk-Nya.
Manusia tak
pernah bisa mengambil jarak dengan alam. Sebab, ia bagian dari alam itu sendiri
yang dalam kehidupannya menjadi salah satu mata rantai kehidupan dan
jaring-jaring kehidupan. Semua saling terhubung dan relasi itu sampai kepada
manusia, langsung maupun tak langsung.
Manusialah yang
diberi kehendak bebas. Makhluk yang lain hidup melalui kecerdasan instingtif
yang kalau direnung-renungkan sebenarnya semata-mata demi keseimbangan alam itu
sendiri. Manusia itulah yang terkadang bereksperimen dengan cara pikirnya yang
kadang kerap menjadikan dirinya terasing dari kehidupan. Manusia yang sejatinya
adalah makhluk ekologis, mengingat dirinya tak bisa terpisahkan dari alam
lingkungan kehidupannya, melalui cara pandangnya berusaha menjadikan dirinya
sebagai pusat kehidupan, antroposentrisme. Dengan menganut hal ini, rusaklah
semua tatanan kehidupan yang sudah terajut sejak purba. Kerusakan alam terjadi
karena keserakahan manusia. Hutan dibabat lalu ditanami sawit secara massal. Bahkan
dengan sangat jahat hutan dibakar supaya kemudian bisa ditanami sawit dengan
mudah. Betapa banyak spesies yang terancam bahkan punah oleh ulah manusia
tersebut. Padahal semua kesatuan kehidupan tersebut sebetulnya juga mendukung
manusia. Namun dengan rusaknya kesatuan kehidupan itu, manusia dengan
sendirinya juga terancam.
Saya sangat
yakin bahwa alam yang baik adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk. Pun bagi
manusia. Selain menopang kehidupan badani manusia, alam yang baik juga menopang
rohani manusia. Dia menemukan Tuhan Sang Pencipta, Pemelihara yang menjamin
kehidupan setiap makhluk-Nya. Betapa hati kita bersyukur melihat alam yang
tergelar indah dan penuh kelimpahan. Tentu perasaan syukur itu akan menjadi
kecemasan ketika kita melihat alam yang rusak, banyak spesies punah, tak ada
air-kekeringan, atau sebaliknya air melimpah-banjir menggenang. Menyakitkan.
Dengan menjaga
alam, manusia sebenarnya juga menjadi mitra Allah dalam memelihara dan
mengusahakan alam ini. Ini adalah sebuah amanat yang agung bagi makhluk
manusia. Dan ini menjadi kehormatan yang istimewa. Namun, kerap manusia lalai
dan menyalahgunakan amanat agung tersebut. Ibarat pengelola kebun, ia kadang
menyalahi wewenangnya yang berperan menjadi pemilik kebun. Padahal pemilik
kebun itu adalah Allah sendiri yang sebenarnya bisa saja mencabut amanat
tersebut.
Paus Fransiskus
melalui ensiklik Laudato Si’ menegaskan bahwa cara terbaik untuk menempatkan
manusia pada tempatnya, dan untuk mengakhiri klaimnya sebagai penguasa absolut atas
bumi, adalah gambaran tentang sosok Bapa, Pencipta dan satu-satunya pemilik
dunia. Jika tidak demikian, manusia akan selalu condong untuk memaksakan aturan
dan kepentingannya sendiri pada realitas (LS 75).
Alam
yang indah menyuburkan hidup rohani yang baik. Demikian pula hidup rohani yang
baik, membuat alam indah terpelihara. Ini bagaikan dua sisi dalam sekeping mata
uang. Tak bisa dipisahkan antarsatu dengan yang lain. Keduanya saling melekat
dan saling menghidupi.
Suatu
pagi, saya berjalan di sekitar Pertapaan Rowoseneng. Saya melihat banyak pohon
kopi yang terawat meski hari itu sedang dilanda musim kemarau panjang. Saya
melihat semangat doa para rahib mewujud dalam tindakan memelihara kebun itu. Antara
doa dan bekerja menyatu dalam pribadi. Tidak saling mengalahkan, namun doa dan
kerja itu saling meneguhkan.
Saya
pun teringat kisah para suster di Komunitas Green Mountain Monastery di Amerika
Serikat yang mempunyai fokus pada penyelamatan planet bumi dan didirikan oleh
Pastor Thomas Berry CP.
Sebelum bekerja di kebun, mereka berdoa di tempat itu. Lalu dengan demikian,
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di kebun itu bukanlah pekerjaan sekular,
namun pekerjaan yang suci karena dilakukan atas dan dalam nama Tuhan Sang
Pencipta dan Penyelenggara kehidupan ini. Dan sampai hari ini, Tuhan masih
terus mencipta kehidupan.
Memang,
saya mengakui cukup sulit untuk menyadari keberadaan diri kita di alam semesta
ini. Apalagi menjadikan diri kita peduli pada bumi yang selama ini telah
menghidupi kita. Bumi bak rahim kehidupan yang tanpanya, kita bukanlah
siapa-siapa. Maka, pantaslah bumi itu disebut Ibu Bumi yang senantiasa menyediakan
apapun bagi anak-anaknya. Tak hanya pangan, namun juga spiritualitas dan
pembelajaran pada fenomena alam yang membuat hidup ini menjadi semakin bermutu,
yang senantiasa membuat manusia penuh pengharapan.
Suatu
ketika Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta kecil berdialog dengan
bapaknya di kebun. Pada suatu musim kemarau, mereka melihat ulat yang
bersembunyi di sehelai daun yang masih hijau, sementara daun-daun yang lain sudah
mengering. Dari waktu ke waktu ulat itu pun bermetamorfosa, lalu berubah
menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Bapak pun menjelaskan padanya, melalui
peristiwa itu, Tuhan menjaga makhluk yang kecil, terlebih kita manusia yang
adalah puteri dan putera-Nya.
Kita
adalah puteri dan putera-Nya, yang sebenarnya adalah sekadar makhluk-Nya.
Namun, Bapa mengangkat kita sebagai puteri dan putera-Nya, kendati kita
terkadang nakal dan bandel tak berbakti kepada-Nya. Kita kerap menyalahi
amanat-Nya. Kita diminta oleh-Nya untuk memelihara dan mengusahakan Kebun Indah
milik-Nya, namun kita kerap tidak menjalankan tugas itu.
Kita
justru merusaknya, menjarahnya dan mengganggu ciptaan-peliharaan-Nya yang
sebenarnya demi kehidupan semua, termasuk manusia. Kita mengotori-mencemari
Kebun Indah milik-Nya dengan teknologi yang kita ciptakan. Berbagai perangkat
kita ciptakan, yang akhirnya berujung pada sampah yang sulit diurai. Air
tercemar, tanah rusak, banyak makhluk terancam bahkan mati. Katanya, itu semua
adalah kemajuan peradaban. Namun, semua itu berujung maut pada komunitas kehidupan.
Masihkah
kita mau merusak Kebun Indah itu tempat komunitas kehidupan menyatupadu?
إرسال تعليق for "Hidup di Kebun Indah Milik-Nya"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق