Ada gejala masyarakat yang berlaku egois dalam memperlakukan alam. Hal itu tecermin salah satunya pada perilaku manusia yang membuang sampah dengan sembarangan. Keegoisan itu juga terlihat ketika manusia menghambur-hamburkan air hanya untuk kesenangan pada saat yang lain kehausan, kesulitan air, bahkan kekeringan lahan karena dilanda kemarau. Demikian halnya, ketika polusi udara sudah dalam tahap mengkhawatirkan, masyarakat lebih suka naik kendaraan berbahan bakar fosil meskipun sebenarnya mereka masih bisa dan kuat berjalan kaki dalam jarak tertentu. Bahkan kendaraan yang dipakai banyak yang berkapasitas mesin sangat besar, melebihi fungsi sebenarnya.
Masyarakat
cenderung membuang sampah tidak di halaman sendiri, tapi sebisa mungkin di
halaman-tempat (orang) lain. Sesuatu yang bakal membuat hidupnya tidak nyaman
pasti akan dijauhi dan berusaha tidak ditempatkan di lingkungannya, tetapi di
luar lingkungannya. Sampah, bagi sebagian masyarakat, adalah sesuatu yang harus
dijauhi. Sebaliknya, sesuatu yang memberi kenyamanan-kenikmatan bagi dirinya
sebisa mungkin digiring dan dikonsumsi di lingkungannya. Ini adalah dimensi
ruang.
Dalam
dimensi waktu, manusia sebisa mungkin menikmati potensi alam sebanyak mungkin
pada saat sekarang, bahkan kalau perlu dihabiskan. Tak peduli dengan generasi
yang akan datang. Atas nama kepentingan ekonomi saat ini, bukit-pegunungan
dihancurkan karena di dalamnya ada kandungan emas berharga. Hutan dirusak dan
dijadikan lahan perkebunan
yang hanya untuk menggenjot rupiah tapi abai pada kelestarian alam. Manusia
berlomba membuat kolam renang dan wisata air hanya untuk bermain air, tanpa
berusaha melestarikan air dengan cara menjaga hutan yang menjadi resapan air ketika
yang lain membutuhkan air untuk minum dan pertanian di masa mendatang. Manusia
peduli hanya untuk masa sekarang. Manusia tak peduli untuk kelangsungan
generasi yang akan datang.
Akibat
yang mungkin terjadi, ada pihak-pihak yang mendapat risiko buruk atas perilaku
manusia tersebut secara langsung, dalam waktu yang relatif bersamaan. Namun, di
samping itu, ada juga pihak-pihak yang dirugikan dalam waktu-waktu mendatang.
Bisa saja sesuatu yang kita nikmati hari ini, tidak akan bisa dinikmati oleh
generasi penerus, anak-cucu kita
kelak. Yang
kita lakukan saat ini, berdampak buruk pada keadaan alam masa depan dan mengancam kehidupan generasi penerus.
Jika kita menyadari bahwa semua kehidupan
terajut dalam jaringan komunitas kehidupan, maka jika ada satu makhluk yang
terganggu bahkan punah, kehidupan yang lainnya akan terganggu juga. Hidup
berada dalam dukungan semua warga komunitas kehidupan. Paus Fransiskus dalam
ensiklik Laudato Si’ tentang
Perawatan Rumah Bersama Kita menulis, tidak berlebihan untuk menekankan bahwa
semuanya terhubung. Waktu dan ruang tidak independen satu sama lain, dan bahkan
atom atau partikel sub-atom tidak dapat dipertimbangkan secara terpisah. Sama
seperti berbagai komponen fisik, kimiawi, dan biologis dari planet saling
berhubungan, demikian juga spesies-spesies hidup membentuk jaringan yang belum kita
identifikasi dan pahami (art 138). Bahkan kehidupan jiwa kita pun dipengaruhi
oleh kondisi yang ada di sekitar kita. Thomas Berry dalam Kosmologi Kristen
menulis, kode genetis dunia batin kita dibentuk oleh kekuatan yang sama yang
menciptakan dunia sekitar kita, dan merupakan kesatuan utuh dengan dunia.
Bahkan kehidupan jiwa kita juga berkembang hanya melalui kontak lewat
pengalaman dengan dunia di sekeliling kita. Begitu menyatunya dunia dalam diri
kita dengan dunia luar; sehingga jika dunia luar itu dirusak, maka kehidupan
dalam jiwa kita pun secara proporsional akan rusak (hal. 106-107).
Maka,
perusakan terhadap satu makhluk berpotensi pada perusakan ekosistem yang juga
akan berdampak pada kehidupan jiwa manusia. Kita tidak bisa membayangkan orang yang
jiwanya rusak mampu mencintai lingkungan hidupnya. Di sinilah sebenarnya ada
singgungan antara melestarikan alam dengan kepedulian pada manusia. Peduli pada
manusia tidak hanya memberi kecukupan ekonomi, yang terkait produksi dan konsumsi
komoditas, namun juga pada kesempatan memberikan kesejahteraan ekologis yang bahkan
sampai pada kesejahteraan jiwa manusia. Maka, di sini jelas, bahwa peduli pada
sesama manusia tidak hanya urusan memberikan lapangan kerja, namun juga
melestarikan alam di sekitar tempat tinggalnya. Segala hal baik yang terkait
pelestarian alam adalah juga upaya menjaga kehidupan manusia baik ekonomi,
ekologi maupun jiwanya. Sebaliknya, segala usaha perusakan merupakan ancaman
terhadap manusia, memiskinkan manusia, menghancurkan lingkungan hidup sekaligus
mengancam jiwa manusia.
Saya
sepakat, bahwa mensejahterakan manusia, mengangkat manusia dari kemiskinan
tidak mungkin bisa dilakukan dengan merusak alam dengan dalih pembangunan. Namun,
mensejahterakan manusia dilakukan dengan melestarikan lingkungan hidupnya. Untuk
apa kita membuat orang berkecukupan harta, sementara ia tidak bisa mengonsumsi
air dengan cukup dan aman? Jasmaninya terancam oleh kelangkaan pangan karena
alam yang rusak akibat pembangunan.
Di
sinilah keadilan ekologis menjadi penting. Keadilan ekologis menurut hemat saya
adalah kondisi ketika masing-masing makhluk dan komponen kehidupan memiliki
porsi yang sesuai dengan yang sebenarnya, tanpa pengurangan dan penambahan,
serta menjaga mereka tetap berada dalam komunitas kehidupan yang sejak semula
hidup saling mendukung. Keadilan ekologis ini juga merambah pada keadilan antar
manusia. Dengan demikian tidak mungkin seseorang atau korporasi atas nama kepentingan
ekonomi melakukan pembangunan yang merusak alam dan mengancam manusia beserta komponen
kehidupan lainnya.
Keadilan
ekologis mempunyai dimensi sekarang maupun akan datang. Keadilan ekologis memungkinkan
seseorang untuk menimbang sebelum memutuskan dalam tindakan, segala tindak
tanduknya apakah berpotensi merusak alam seketika, ataupun merusak alam dalam
waktu-waktu mendatang bahkan ketika si perusak sudah mati.
Lagi-lagi Thomas
Berry menulis, ketika kita dengan kejamnya memusnahkan bentuk-bentuk kehidupan
di periode hidup kita ini, pada saat yang sama sebenarnya keberadaan
makhluk-makhluk di planet ini, termasuk kehidupan rohani manusia sendiri
terancam.
Narasi dalam
Injil tentang Orang Samaria yang Baik Hati bisa menjadi permenungan atas upaya
membangun keadilan ekologis. Dikisahkan di sana, ada imam dan orang Lewi yang
menjumpai orang terluka di jalan karena penyamun, namun mereka melewatinya
begitu saja. Lalu, orang Samaria lewat, ia tergerak untuk menolongnya. Bahkan kuda
tunggangannya dipakai untuk membawa korban itu. Lalu korban itu dibawa ke
tempat penginapan untuk dirawat.
Hari-hari ini
dan yang telah lalu, banyak korban ketidakadilan ekologis. Mereka berada dalam
jalan-jalan kehidupan yang kita lalui, entah mereka bisa bersuara maupun tak
bersuara karena sungguh-sungguh tak bisa. Mereka bahkan menjadi korban di rumah sendiri,
di bumi yang sama, yang semestinya menjadi rumah bersama. Bagaikan antarsaudara
serumah, di antara mereka ada yang mengambil terlalu banyak dan mengurangi hak
saudara yang lainnya. Bahkan ada saudara yang tidak mendapatkan hak sama
sekali. Itu terjadi ketika para petani yang mengandalkan hidupnya dari
aktivitas pertanian tetiba harus tersingkir dan terancam kehidupan dan
kebudayaannya karena di lahan mereka akan didirikan pabrik dengan paksa. Tak
hanya kekerasan fisik, bahkan itu juga berujung pada kekerasan budaya. Budaya
agraris mereka dikangkangi, padahal budaya itulah yang menjadi penopang
kehidupan bersama.
Seperti halnya
orang Samaria yang baik hati itu, kita dipanggil untuk menolong korban
ketidakadilan ekologis itu. Jika orang Samaria itu mencarikan tempat penginapan
untuk merawat korban penyamun, para pejuang keadilan ekologis dan budaya
kehidupan justru menolong korban dengan memperbaiki rumah bersama yang
terkoyak-rusak oleh penghuni-penghuninya.
Bumi itulah
rumah bersama. Bumi itulah yang menjadi lumbung makanan bersama. Di sanalah
siapapun dan apapun menyandarkan kehidupannya. Di bumi itu pula, kita mengalami
kepenuhan jiwa karena bumi menjadi inspirasi keutamaan-keutamaan hidup. Kebaikan-kebaikan
Tuhan pun nampak dalam pesona keindahan makhluk-makhluk yang ada di bumi.
Bersama mereka pula kita mensyukuri dan memuji kehebatan Tuhan, Sang Khalik. Di
sinilah, di samping menopang kehidupan jasmani dan rohani, bumi juga menjadi
altar untuk memuji Tuhan.
Maka, seperti yang
dianjurkan Thomas Berry, kita perlu bergerak dari spiritualitas yang
mengasingkan diri terhadap alam, kepada spiritualitas akrab dengan alam; dari
spiritualitas Allah yang menampakkan diri melalui perwahyuan verbal, kepada
spiritualitas Allah yang menampakkan diri dalam segala yang kita lihat di
sekeliling kita; dari spiritualitas yang mempedulikan keadilan semata-mata bagi
manusia, kepada spiritualitas yang mengikutsertakan komunitas bumi secara lebih
luas (ibid, hal. 107).
Posting Komentar untuk "Keadilan Ekologis"
Kesan/Pesan
Posting Komentar