Tergerak
akan menurunnya cadangan air, selama 20 tahun, Sadiman (61) mengeluarkan
uangnya sendiri dan tenaga untuk menanami pohon di Hutan Gendol ujung timur
Kabupaten Wonogiri. Hasilnya, dua desa terbebas dari kekeringan. Hampir setiap
hari ia menjelajahi hutan, jika tidak sedang mengerjakan ladangnya. Ia bertani
padi, tetapi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus pohon-pohon
beringin yang ia tanam di hutan atas. (http://www.rappler.com/indonesia/103441-menanami-hutan-sadirman-memerdekakan-desa-gendol-dari-kekeringan)
Adalah seorang Fransiskan Pater Agatho Elsener yang mengembangkan
pertanian organis di Cisarua. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1960. Tergerak akan
rusaknya alam akibat pertanian yang mengadopsi Revolusi Hijau, Pater Agatho
mengembangkan pertanian organis. Organis menggambarkan satu unit/kesatuan yang
terdiri atas bagian-bagian yang semua teratur, terarah pada kepentingan
bersama, yakni harmoni. Pertanian organis tidak hanya nonkimia
dan nonpestisida. Bukan juga soal sertifikasi. Pertanian organis menyangkut
sikap dan pandangan hidup. Organisme alam terdiri atas binatang, tumbuhan,
hutan, dan biotop lainnya. Semua bisa hidup karena dukungan semua organnya, dan
setiap organ bertujuan hanya satu, yakni melayani organisasinya. Kalau organ melayani dengan baik,
organisme makin sehat.
(St. Sularto, dalam Kompas, 21 Februari 2008).
(St. Sularto, dalam Kompas, 21 Februari 2008).
Dua kisah
tersebut, bagi saya menunjukkan bahwa manusia adalah bagian dari alam yang
semestinya tahu diri dalam cara beradanya di bumi. Jika manusia hanyalah bagian
dari alam, yang tergabung dalam sistem jaring kehidupan, dan hidupnya tergantung
sepenuhnya pada alam maka, dia tidak akan gegabah mengambil terlalu banyak dari
alam dengan merusak alam itu sendiri. Sebab, hal itu akan berdampak bagi alam,
merusak jaring-jaring kehidupan dan mata rantai makanan yang akhirnya akan
berujung pada kehidupan dirinya.
Dalam hal ini,
manusia menyadari dirinya adalah makluk ekologis yang hidup karena alam. Dengan
pemahaman ini, saya yakin, manusia tidak akan berani mengambil dan merusak
alam. Kecuali dia mau nekad merusak sistem yang ujungnya salah satunya
merugikan dirinya.
Tahu bahwa
dirinya tidak bisa hidup sendiri dan hanya bisa hidup dengan gotong royong
sesama komunitas kehidupan di bumi, maka ia pun akan selalu waspada dan memeriksa
rekan-rekan komunitas kehidupannya seperti hewan, tumbuhan, air, udara dan
lain-lainnya yang sama-sama memiliki sumbangsih dalam menyelenggarakan
kehidupan ini.
Jika ada salah satu yang terancam, manusia pun dengan serta merta mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ini menjadi ciri makhluk ekologis. Manusia menjadi penjaga alam baik karena keputusan budinya maupun keputusan imannya dan di sana terajut relasi yang intim. Manusia dengan alam begitu akrab. Dan keakraban itu terbentuk dalam upacara-upacara penghormatan kepada alam. Diciptakannya tata ibadah yang menunjukkan kemahakuasaan Pencipta atas ciptaan-Nya yang begitu ajaib bagi kehidupan.
Jika ada salah satu yang terancam, manusia pun dengan serta merta mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ini menjadi ciri makhluk ekologis. Manusia menjadi penjaga alam baik karena keputusan budinya maupun keputusan imannya dan di sana terajut relasi yang intim. Manusia dengan alam begitu akrab. Dan keakraban itu terbentuk dalam upacara-upacara penghormatan kepada alam. Diciptakannya tata ibadah yang menunjukkan kemahakuasaan Pencipta atas ciptaan-Nya yang begitu ajaib bagi kehidupan.
Thomas Berry
menulis, kesatuan di alam semesta dapat dilihat dalam begitu banyak ritual yang
biasa dilakukan oleh berbagai suku asli di seluruh planet, sebagaimana juga
(dapat dilihat) pada masyarakat berkultur pertanian tradisional, khususnya di
awal-awal pembentukan mereka (Kosmologi Kristen, hlm. 175).
Namun, semakin modern, hal-hal tersebut makin tercerabut seperti spiritualitas manusia yang memaknai ketuhanan juga tercerabut. Manusia tak lagi akrab dengan alam lingkungannya. Manusia makin asyik masyuk dalam kecanggihan teknologinya yang sayangnya lebih banyak untuk mengeksploitasi alam. Dan bahkan dengan teknologi itu, manusia menjadi semakin mudah untuk mengeruk alam demi kepentingan ekonomi. Dulu, tak mudah orang mengepras sebuah bukit karena manusia hanya memiliki alat sederhana, dan mereka dengan keyakinannya masih menjaga alam sebagai sandaran hidupnya.
Namun, semakin modern, hal-hal tersebut makin tercerabut seperti spiritualitas manusia yang memaknai ketuhanan juga tercerabut. Manusia tak lagi akrab dengan alam lingkungannya. Manusia makin asyik masyuk dalam kecanggihan teknologinya yang sayangnya lebih banyak untuk mengeksploitasi alam. Dan bahkan dengan teknologi itu, manusia menjadi semakin mudah untuk mengeruk alam demi kepentingan ekonomi. Dulu, tak mudah orang mengepras sebuah bukit karena manusia hanya memiliki alat sederhana, dan mereka dengan keyakinannya masih menjaga alam sebagai sandaran hidupnya.
Sekarang, dengan alat yang makin
canggih, ditambah dengan retaknya relasi antara manusia dari alam karena
manusia ingin mengambil terlalu banyak, bukit-bukit tempat suaka hewan dan
tumbuhan dikepras hanya untuk mengambil kekayaan alam demi motif ekonomi.
Lagi-lagi
alasan ekonomi dan kesejahteraan menjadi senjata untuk memuluskan langkah mereka melalui badan pemerintah dan badan usaha. Mereka
berselingkuh mengkhianati cinta pada alam dan ibu pertiwi.
Bagai kisah
cinta laki-perempuan, di sinilah kisah pengkhianatan cinta dan perselingkuhan selalu
saja membawa petaka bagi pihak-pihak yang terkait. Semuanya terluka. Dalam
konteks komunitas kehidupan, satu pihak terluka rusaklah seluruh sistem di
dalamnya. Sebab, semuanya tergabung dalam jaring-jaring kehidupan. Dan
sebenarnya jaring-jaring kehidupan itu adalah jaring-jaring cinta. Sayangnya manusia
tak seperti hewan dan tumbuhan yang selalu berada dalam alur selaras kehidupan.
Manusia bisa memilih untuk mencinta bahkan merusak. Ini masalahnya.
Gejala agama
yang menjadi formalistik pun rupanya membuat manusia kehilangan spiritualitas
ekologisnya dalam menjalani diri sebagai umat beriman. Padahal sebagai manusia
beriman pada Tuhan, ia seharusnya sampai pada kesadaran bahwa Tuhan menciptakan
segala makhluk dan menghendaki semua makhluk itu hidup dalam persekutuan.
Agamawan pun sepertinya agak gagap
terhadap hal ini baik dalam pemahaman, spiritualitas dan langkah pastoralnya. Gejala
ini kuat terlihat, ketika ia menjalankan ritual ibadah yang digadang-gadang
bisa menjadi salah satu cara bersekutu dengan Penciptanya ternyata justru
menyisakan permasalahan bagi alam. Ada tempat ibadah yang dibangun justru malah
merusak alam. Ada ritual ibadah dilakukan, namun justru menyisakan permasalahan
terhadap lingkungan, misalnya sampah-sampah yang tak dikelola dengan baik. Bukankah ini
kegagapan dalam merajut tiga relasi manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan
alam ciptaan. Hal ini
berlangsung sangat lama, terlebih teknologi yang ditanam dalam industri semakin
membuat rusak alam ini.
إرسال تعليق for "Hidup dalam Realitas Alam"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق