Dalam kolom Parodi di
harian Suara Merdeka, 26 Juli 2015, budayawan Prie GS menulis kalau setiap lebaran
tiba, salah satu kebiasaannya setiap salat Ied di lapangan adalah ikut memungut
sampah koran yang dibawa jamaah untuk ditinggal begitu saja begitu saat salat
usai. Jika lapangan itu demikian
luas, maka dari tempat ibadah, lapangan itu akan segera berubah menjadi tempat
sampah raksasa.
Masih dalam edisi lebaran ini, di jejaring sosial ditampilkan foto sebuah posko
lebaran mie instan yang membuang sampah pembungkusnya begitu saja menumpuk di
bibir jurang pinggir jalan. Peristiwa keagamaan lain pun, seperti perayaan
Natal atau Paskah, kadang juga masih menyisakan sampah begitu saja.
Namun sebenarnya hemat saya yang
lebih parah adalah, jutaan orang yang setiap hari membuang sampahnya secara
sembarangan tanpa pengelolaan yang memadai.
Sepintas kita melihat orang yang beragama ternyata tak peduli pada
lingkungan. Ada kegagalan integrasi antara iman dengan panggilan menjaga
anugerah/ciptaan Tuhan. Sementara itu justru di Negara-negara yang sekular, warganya
amat peduli pada lingkungan. Rupanya, seperti yang diceritakan Prie GS dalam
Parodinya, adalah luputnya pendidikan karakter. Pendidikan
karakter dilakukan dengan penanaman kebiasaan yang konsisten dan dalam waktu
yang panjang sampai terinternalisasi dan menjadi habitus sehingga jika
seseorang tidak melakukannya maka timbul rasa bersalah.
Di Indonesia, pendidikan lebih menekankan pengetahuan.
Maka tidak heran, jika orang tahu dan sadar bahwa membuang sampah berakibat
tidak baik karena mempunyai dampak buruk pada lingkungan, toh kegiatan itu
tetap dilakukan. Karena, orang tersebut tidak memiliki karakter dasar mencintai
lingkungan. Dia tidak pernah memiliki pengalaman dikondisikan untuk mencintai
lingkungan misalnya buang sampah di tempatnya. Bandingkan dengan anak-anak
sekolah di Jepang yang mempunyai kebiasaan cuci tangan sambil antre. Mereka
sangat tertib. Di Indonesia, seorang doktor pun masih membuang sampah pada
tempat yang tak semestinya, sampah anorganik ditaruh di tempat sampah organik.
Di Indonesia, anak didik lebih ditekankan pada aspek
kognitif, maka tak heran jika sarjana pun tidak tertib lalu lintas. Seorang
mahasiswa menerobos perempatan meskipun lampu lalu lintas menyala merah. Klub
mahasiswa pencinta alam ketika naik gunung membuang sampah begitu saja di atas
gunung.
Saya melihat adanya hal yang sangat penting yang selama
ini masih diabaikan oleh masyarakat bahkan oleh kalangan pendidik. Sesuatu itu
adalah pendidikan ekologis. Pendidikan ekologis ini tidak hanya berhenti pada
aspek kognisi berupa pemahaman logis hukum-hukum alam maupun sistem kehidupan,
namun juga pada penanaman karakter/habitus peduli pada alam ini.
Mengapa pendidikan ekologis penting? Saya melihat pada
dasarnya setiap makhluk adalah makhluk ekologis karena dia hidup dalam konteks
alam baik sebagai daya dukung kehidupannya, makanannya atau suplemen
kehidupannya seperti matahari maupun udara. Keberadaan
makhluk hidup termasuk manusia tidak bisa independen, namun interdependen. Semua
saling tergantung dan mendukung sebagai komunitas kehidupan. Jika hal ini tidak
disadari manusia, maka manusia hanya menjadi perusak dari komunitas kehidupan
itu sendiri.
Yang perlu dimengerti
lebih lanjut adalah setiap makhluk hidup berada dalam jaring-jaring kehidupan. Makhluk
yang satu mendukung hidup makhluk yang lainnya. Ada proses saling memberi dan
menerima. Ini adalah sebuah kebersamaan dalam konteks komunitas atau warga
kehidupan. Thomas Berry menyebutnya alam semesta bukanlah kumpulan obyek, namun
persekutuan subyek-subyek. Sebagai subyek, maka masing-masing anggota alam memiliki hak.
Maka, manusia semestinya menjaga diri supaya
tetap rendah hati berada dalam komunitas kehidupannya. Ia hanya bisa hidup karena sumbangan dari makhluk yang
lainnya. Demikian juga antarmakhluk hidup yang lainnya, mereka hidup dalam suasana
saling memberi dan menerima. Dalam kondisi demikian, manusia tak hanya bisa
menerima. Alih-alih, tidak hanya menerima, tetapi manusia mengambil terlalu
banyak dari ciptaan atau alam lain, bahkan merampok sepuas-puasnya.
Buruknya, manusia tak peduli pada lingkungan hidup dan jejaring
kehidupannya yang sebenarnya selama ini mendukung kehidupannya. Maka dengan
demikian, ia sebenarnya sedang bunuh diri sekaligus membunuh komunitas
kehidupannya. Tak hanya itu ia pun sebenarnya sedang membunuh generasi sesama
manusianya.
Pendidikan ekologis semestinya sampai menyentuh hal-hal tersebut dan
berujung pada habitus ekologis dan kecerdasan ekologis. Pendidikan tersebut semestinya
dilakukan sejak dini dengan penanaman karakter yang kuat.
Jika di Indonesia banyak orang yang beragama, maka agama sebaiknya digali
sedemikian rupa perihal ketegasannya dalam konteks mengajak umatnya untuk mencintai
alam ciptaan lainnya. Spiritualitas ekologi digali dan dihidupi sedemikian
rupa. Agama-agama kembali membuka dan menyelami hal itu, tidak melulu terjebak
pada penanaman dogma yang hanya berujung pada apologetika, atau hanya
terperangkap pada ruang ritus. Namun, semua itu juga mesti menyentuh pada aspek
spiritualitas ataupun teologi yang menyentuh lingkungan.
Dengan demikian, tak ada lagi kegiatan keagamaan yang justru meninggalkan
permasalahan pada lingkungan seperti yang diceritakan pada awal tulisan ini. Orang-orang
yang beragama pun di samping menjalankan ritus keagamaannya, juga sekaligus
melestarikan alam lingkungannya. Sehingga kegiatan keagamaan tak harus berujung
pada perusakan alam.
Ada peristiwa yang menarik perhatian saya yang menunjukkan gerakan nyata
dalam hal kecintaannya pada lingkungan. Tahbisan Uskup Mgr Johannes Pujasumarta
di Sasana Budaya Ganesha, Bandung pada 16 Juli 1998, bagi saya merupakan acara
keagamaan yang mengajarkan kecintaan pada lingkungan. Pada masing-masing
pengunjung, panitia pada waktu itu menyediakan tempat sampah. Para pengunjung
yang hadir membawa sampahnya pulang, atau setidaknya, mereka tidak membuang
sampah di tempat kegiatan. Selain itu, ada tim khusus yang menganimasi
pentingnya menjaga lingkungan yang mondar-mondir mengingatkan sekaligus melihat
dan memungut kalau-kalau ada sampah yang tercecer.
Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Evangelii
Gaudium dengan tegas mengatakan, ada makluk lain yang lemah dan tidak
berdaya, yang seringkali di dalam kekuasaan kepentingan ekonomi dan eksploitasi
sembarangan. Saya berbicara tentang ciptaan secara keseluruhan. Kita umat manusia
bukan hanya penerima manfaat, melainkan juga menjadi penjaga makluk-makhluk
ciptaan lainnya. Melalui tubuh kita, Tuhan menyatukan kita begitu erat dengan
dunia di sekitar kita sehingga kita dapat merasakan penggundulan tanah hampir
seperti penyakit pada semua orang, dan punahnya sebuah spesies seperti mutilasi
yang menyakitkan. Marilah kita tidak meninggalkan jejak-jejak kehancuran dan
kematian di jalan kita yang akan mempengaruhi hidup kita sendiri dan hidup generasi
masa depan. (EG art 215).
Ia pun melanjutkan dengan ajakan melindungi ciptaan meskipun tidak harus
dengan cara-cara yang fantastis. Kecil namun kokoh dalam kasih Allah, seperti
Santo Fransiskus Assisi, kita semua, sebagai umat kristiani, dipanggil untuk
menjaga dan melindungi dunia yang rapuh di mana kita hidup, dan semua orang di dalamnya. (EG 216)
Pendidikan dan penanaman karakter/habitus ekologis selain ditanamkan dalam
system pendidikan formal, hal itu juga semestinya dilakukan dalam keluarga. Dengan
inspirasi Familiaris Consortio,
keluarga menemukan dalam rencana Allah Pencipta dan Penebus tidak hanya
jatidirinya, yakni hakikat keluarga, tetapi juga tugas perutusannya, yakni apa
yang dapat dilakukannya. Setiap keluarga menemukan di dalam dirinya sendiri
panggilan yang tidak dapat diabaikan, yang menentukan kekhasan martabat maupun
tanggung jawabnya: keluarga, jadilah seperti seharusnya. (FC 17, par. 1). Maka,
jelas keluarga memiliki perutusan termasuk dalam menyiapkan generasi yang
berhabitus ekologis.
Posting Komentar untuk "Habitus Ekologis"
Kesan/Pesan
Posting Komentar