Mediasi Manusia-Bumi

Mediasi Manusia-Bumi

Sehebat-hebatnya manusia menapaki perjalanan sejarah hidupnya, dia tak akan pernah bisa berpaling dari bumi dan alam ciptaan. Meskipun, peradaban manusia sudah sangat tinggi, manusia tetaplah makhluk bumi, dan bisa hidup karena bumi dan ciptaan Tuhan yang selama ini mendukung kehidupan dirinya termasuk makhluk non manusia.
Sejak revolusi industri, perkembangan teknologi begitu pesat. Dalam banyak hal, manusia terbantu untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, sebaliknya, perkembangan teknologi itu tidak selalu ramah lingkungan. Dalam salah satu artikel di buku Kosmologi Kristen, Thomas Berry menulis, perubahan yang sekarang terjadi adalah perubahan akan senyawa kimiawi planet, perubahan dalam struktur geologis dan sistem biologisnya. Katanya, kita memusnahkan bentuk-bentuk kehidupan yang membutuhkan ratusan juta tahun bahkan miliaran tahun dalam pembentukannya (hal. 77).
Rachel Carson dalam salah satu bukunya “Silent Spring” tahun 1962 berkisah tentang sepinya musim semi di Amerika yang semestinya diramaikan oleh kicau burung dan berbagai organisme hidup. Semua tak terjadi karena penggunaan pestisida dengan dalih meningkatkan produksi pertanian. Demi produktivitas pertanian, banyak spesies mati bahkan punah. Selanjutnya, pestisida itu larut dalam rantai makanan yang akhirnya terakumulasi pada manusia.

Manusia dengan dalih mempertahankan hidupnya, telah memusnahkan makhluk non manusia secara gegabah. Akibatnya, terjadilah kekacauan sistem kehidupan. Rantai makanan dan jaring-jaring kehidupan yang sebenarnya sudah terkondisi dengan baik menjadi kacau. Hilangnya satu spesies makhluk menjadi ancaman kehidupan bagi makhluk yang lain. Kehidupan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang sebenarnya mendukung kehidupan manusia pun terancam terganggu.
Menyikapi kerusakan alam yang masif, Thomas Berry menyampaikan pentingnya mediasi ketiga. Menurutnya, ada tiga mediasi yang pernah dijalani manusia. Mediasi pertama terjadi saat rekonsiliasi antara Yang Ilahi dan manusia. Misalnya dalam kelahiran agama-agama. Pada periode ini terjadi upaya rekonsiliasi antara Tuhan dengan manusia. Sedangkan mediasi kedua terjadi pada dua abad terakhir, yakni mediasi antarmanusia dan rekonsiliasi berbagai kelompok manusia. Latar belakang mediasi ini adalah berkembangnya konflik antarmanusia yang disebabkan oleh jurang kemiskinan maupun ketidakadilan. Dengan pembangunan bidang industri, menurut Thomas, kelompok manusia terbagi-bagi menjadi kelompok yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam arti tertentu, mediasi kedua ini adalah upaya mewujudkan keadilan sosial bagi sesama manusia.
Saat ini, menurutnya, manusia sudah saatnya melakukan mediasi ketiga. Mediasi ketiga adalah mediasi antara komunitas manusia dan bumi, planet yang melingkupi dan mendukung kita, tempat kita bergantung secara absolut baik dalam hal makanan maupun udara bagi nafas kita.
Lebih lanjut Thomas Berry berpendapat bahwa bukan hanya makanan bagi tubuh manusia yang datang melalui bumi tetapi juga daya pikir dan imajinasi-imajinasi luar biasa dalam khayalan kita, seni, pendidikan, bahkan pengetahuan tentang Allah, sampai pada kita melalui perkenalan kita dengan bumi karena Yang Ilahi mewahyukan diri-Nya melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Dengan demikian, mediasi antara manusia dengan bumi menjadi sangat penting.
Tugas rekonsiliasi antara manusia dengan bumi mutlak harus dilakukan. Entah disadari, entah tidak, bumi sudah memberikan banyak hal bagi manusia. Bahkan hingga pada suatu ketika tiba saat manusia menganggap ciptaan di atas bumi hanya sebagai komoditas yang bisa diperjual-belikan, bumi tetap menyediakan segalanya bagi manusia.
Rekonsiliasi dengan bumi menjadi hal yang mendesak dan tak bisa dilakukan sendirian. Kita sudah tak bisa lagi mengulur-ngulur waktu dalam menyelamatkan bumi dari berbagai kerusakan. Kita sudah saatnya menggandeng semua pihak untuk bersama-sama menyelamatkan bumi. Apapun agamanya, ideologinya, negaranya, bangsanya, sukunya, toh semuanya masih menggantungkan hidupnya pada bumi. Maka, kerja sama ini sebenarnya adalah kerja sama kosmis, siapapun dan apapun yang merasa diri bergantung hidup pada bumi.
Semua itu mestinya menjadi peluang bersama untuk bahu-membahu melakukan penyelamatan bumi. Manusia mesti berhenti menyakiti bumi yang selama ini justru memberikan dia makanan. Apalah manusia tanpa bumi ini?
Mediasi ketiga antara manusia dengan bumi sebenarnya memulihkan situasi ketidakadilan menjadi keadilan. Selama ini eksploitasi hasil-hasil bumi telah memecah belah bangsa manusia. Yang kuat menindas yang lemah. Yang berkuasa menggusur yang tak berkuasa. Para petani tergusur, sumber-sumber air kering karena pembukaan pertambangan. Masyarakat yang hidup di hutan pun terancam karena pembukaan perkebunan yang merambah hutan-hutan. Di sanalah konflik antara yang berkuasa dan yang tak berkuasa terjadi.
Selanjutnya, relasi manusia dengan bumi menjadi semakin akrab, tak berjarak, karena memang sesungguhnya tak pernah berjarak. Karena pandangan hidup manusia yang berubah terhadap bumi itulah yang membuat seolah-olah antara keduanya menjadi berjarak. Mediasi ketiga mengembalikan relasi antara manusia dengan bumi yang selama ini sempat berjarak, meskipun sebenarnya tak pernah berjarak. Hanya pikiran, perasaan serta perhatian manusia yang tercerabut dari bumilah yang selama ini membuat relasi manusia dengan bumi seakan berjarak.
Dengan pulihnya relasi antara manusia dengan bumi, manusia memperbaiki cara beradanya di bumi. Tidak hanya manusia dengan bumi saja, melainkan juga antara manusia dengan sesama manusia pun saling menghormati. Peradaban inilah yang sebenarnya menjadi cita-cita dalam mediasi ketiga itu, semua makhluk saling mendukung dalam kehidupan. Tak lagi ada yang mendominasi apalagi menganggap ciptaan hanya sekadar komoditas ekonomi.
Manusia mesti menyadari, menurut Mateus Mali, CSSR, bahwa alam semesta ini pusat untuk dirinya sendiri dan manusia hanyalah salah satu anggota dari alam semesta ini.
Mediasi ketiga, dalam ungkapan lain bisa dikatakan sebagai semangat ekosentrisme, yakni semangat kehidupan yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada makhluk yang hidup, namun pada seluruh komunitas ekologis baik hidup maupun tak hidup. Karena sebenarnya semua makhluk tersebut saling mendukung.
Proses kehidupan dalam alam semesta ini sebenarnya berada dalam posisi saling ketergantungan. Semua makhluk saling memberi dan menerima. Jika ada yang serakah mengambil lebih dari yang seharusnya, misalnya manusia mengeksploitasi alam dengan dalih untuk pembangunan yang tak memperhatikan kelestariannya, niscaya di sana ketidakseimbangan alam akan terjadi.
Bumi dan alam semesta sebenarnya adalah rumah bersama. Seperti yang ditulis William Chang (1989) dalam Jiwa Kosmis Fransiskus dari Assisi, seperti yang diusung Santo Fransiskus Assisi, alam semesta bagi Fransiskus menjadi rumah dan tempat tinggal bersama sekalian makhluk ciptaan. Tempat tinggal sekalian makhluk ciptaan ini bukan untuk dirusak atau diporakporandakan demi kepentingan golongan tertentu. Dalam tempat tinggal universal ini sekalian ciptaan bisa saling bertatap muka dan saling menjalin persahabatan.




Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "Mediasi Manusia-Bumi"