Kerap kali,
tokoh-tokoh bijak bahkan orang-orang
yang di sekitar kita mengatakan kurang lebih begini,
“Kita hidup karena orang lain, maka kita harus berguna atau hidup untuk orang
lain!” Hal itu lama diajarkan pada kita,
anak, cucu, dan seterusnya. Pernyataan itu
juga menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang hanya bisa hidup jika ada orang lain. Tentu saja
ajaran tersebut membawa implikasi panjang.
Di tengah
situasi masyarakat yang didera egoisme, orang-orang masih berusaha mengajarkan
tentang manusia adalah makhluk sosial yang bisa hidup karena bersama orang
lain. Meyakinkan bahwa manusia adalah makhluk sosial saja
sudah sulit, apalagi mengamalkannya.
Ajar(k)an itu memang berkutat
pada lingkup manusia dan antarmanusia.
Manusia
menjadi aras dalam memandang persoalan. Maka, tak heran dalam kelanjutannya,
manusia menjadi makhluk yang diagung-agungkan.
Namun, kalau mau melihat lebih dalam
lagi, manusia dan manusia lainnya (antarmanusia) yang terangkum dalam sebutan
makhluk sosial sebenarnya bisa hidup karena ada lingkungan alam ciptaan/hidup
yang ada di sekitarnya. Tak bisa disangkal, manusia makan, minum, menghirup
udara secara bebas dan tinggal di bumi berkat alam ciptaan. Itu semua tak bisa
dibuat manusia. Dengan demikian sebenarnya manusia adalah makhluk ekologis. Atau
kalau mengintegrasikan keduanya, manusia adalah makhluk sosial-ekologis.
Egoisme merusak hubungan sosial-ekologis
Namun, pada kenyataannya manusia
kerap menuruti egoismenya. Karena keserakahannya, manusia mengeksploitasi alam
terlalu banyak, lebih dari kebutuhannya. Jangankan merusak alam, bahkan mereka
harus saling mengorbankan di antara sesama manusia.
Pembukaan pabrik selama ini banyak menggusur
masyarakat yang telah lama bermukim dan mencari nafkah dari alam sebagai
petani. Konflik antarmanusia pun terjadi. Yang satu merasa kelangsungan
hidupnya terancam karena dengan dibangunnya pabrik di tempat tersebut, tanah
pertanian, tempat ia mendapatkan makanan juga tergusur. Mata pencaharian mereka
terancam. Sementara pihak yang kedua, yakni pihak pabrik, memandang lingkungan
alam tersebut cocok sebagai lokasi pendirian pabrik dan bisa mendulang
keuntungan yang besar. Konflik kepentingan terjadi. Bahkan konflik itu berujung
pada tindak kekerasan yang sama sekali mengingkari jatidiri manusia sebagai
makhluk sosial. Yang terjadi adalah manusia serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus).
Kerap kali kajian mengenai syarat pendirian
pabrik hanya berdasar pada aspek legal yang kadang tak menyentuh persoalan yang
mendasar yakni keselamatan ekologis, hak hidup dan budaya yang selama itu telah
dihidupi. Bagaimana mungkin mengubah petani menjadi buruh pabrik dalam sekejap?
Bukankah itu bencana? Tentu hal ini adalah sesuatu yang tidak adil. Egoisme merusak
hubungan sosial.
Egoisme juga merusak hubungan
ekologis. Kerap kali manusia demi meraup keuntungan dengan berbagai cara merusak
alam. Alam dieksplotasi sedemikan rupa tanpa melihat kerugian yang bakal
terjadi.
Cara pengambilannya tidak mengindahkan
aspek kelestarian alam. Demikian juga pengolahan limbahnya pun tak memikirkan
dampak buruknya terhadap alam. Alam lingkungan pun rusak.
Dalam situasi tersebut rusaklah
relasi antara manusia dengan alam. Alam yang rusak tak akan bisa memberi yang
terbaik pada manusia. Manusia pun mengalami kesulitan dalam hidupnya. Alam yang
rusak karena ulah manusia sebenarnya juga merusak relasi antarmanusia. Kita
kerap menyimak berita mengenai konflik antara pihak pabrik yang mencermari
lingkungan dengan para petani atau nelayan akibat tempat mencari nafkah
tercemari limbah pabrik.
Relasi yang baik antara manusia
dengan alam ciptaan memungkinkan relasi yang baik antarmanusia. Dengan hasil
alam yang baik, manusia bisa hidup dengan baik dan berkecukupan tanpa harus saling
berebut, saling menggusur bahkan meniadakan. Antarmanusia hidup dalam tempat
atau bumi yang sama, udara yang sama.
Demi kelestarian bersama, maka
antarmanusia semestinya bersama-sama merawat bumi dan alam ciptaan. Sudah
saatnya, antarmanusia menghentikan konflik akibat perebutan hasil alam, dan
selanjutnya berkomitmen bersama merawat ibu bumi.
Merawat bumi atau alam tak bisa
dilakukan hanya satu orang atau segelintir orang. Namun, upaya tersebut, akan
efektif bila semakin banyak orang terlibat dalam upaya pelestarian alam ini. Upaya
membangun kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dari alam dan
terajut dalam relasi yang saling memberi dan menerima patut dilakukan.
Manusia tidak hanya menerima atau
mengambil dari alam sesuka hati, namun, manusia juga harus memberi pada alam. Karena
pada dasarnya, setiap organisme yang yang terajut dalam komunitas kehidupan dan
terajut dalam jaring-jaring kehidupan hidup dengan saling memberi dan menerima.
Mereka pun sebenarnya hidup saling menjaga karena jika ada satu makhluk yang terancam
dalam jaring-jaring kehidupan, hal itu juga menjadi ancaman bagi kehidupan
makhluk yang lain. Di dalam semua itu sebenarnya terjadi solidaritas alami.
Habitus ekologis
Menyelesaikan krisis lingkungan
hidup atau menyembuhkan alam yang rusak mesti akan mudah dilakukan kalau semua
pihak mempunyai mimpi yang sama akan kelestarian bumi dan alam ini. Manusia
mesti kembali kepada jatidirinya semula yang pernah ia alami sejak semula,
yakni ketika dirinya berelasi sangat mesra, manusia boleh mengambil dari alam
seperlunya. Manusia mesti mengingat keintimannya dengan alam sebelum mengalami
sesat pikir bahwa manusia adalah makhluk yang nomor satu, yang lain nomor ke
sekian, padahal tanpa alam ciptaan (fauna, flora), manusia tak bisa apa-apa.
Manusia perlu mengingat sebelum menuruti keserakahannya antara manusia dengan
alam terajut hubungan yang saling mendukung dalam alam ini.
Manusia semestinya menyadari, bahwa
kesuksesan hidup bukanlah mutlak untuk dirinya sendiri, namun, kesuksesan itu
juga berlaku untuk seluruh ciptaan. Sebab, kesuksesan hidup seluruh ciptaan
juga merupakan kesuksesan manusia.
Habitus manusia mestinya menjadi
semakin ekologis kalau manusia itu mau menghayati jatidirinya sebagi makhluk
ekologis. Dalam pikirannya, ia sadar, bahwa dirinya adalah bagian dari alam ciptaan
yang ada. Dalam perasaannya, ia selalu menyadari bahwa selain dirinya ada
makhluk ciptaan lain yang memang telah diciptakan Tuhan. Masing-masing ciptaan
itu mempunyai nilai dalam dirinya dan memiliki peran tertentu.
Dalam tindakannya, sudah saatnya, manusia
selalu berlaku hati-hati terhadap alam, apalagi dengan sengaja merusak alam
demi meraup keuntungan. Segala tingkah lakunya selalu diorientasikan pada
kelestarian alam. Hal itu mengejawantah dalam cara berproduksi, mengonsumsi
maupun berelasi.
Alam adalah jejak-jejak karya Allah.
Alam menjadi media kasih Allah kepada manusia. Berelasi dengan alam berarti
berelasi dengan Allah Sang Pencipta. Di sinilah, makhluk berelasi dengan Sang
Khalik. Karena diciptakan oleh Sang Pencipta yang sama, baik manusia maupun
ciptaan lainnya, pada dasarnya adalah saudara-saudari, kakak-adik.
Dengan demikian,
semuanya merupakan satu keluarga kehidupan.
Maka, sebagai pungkasan, diri
manusia bersama sesama manusia dan seluruh ciptaan sebenarnya mengandung
dimensi keilahian. Dan mereka semuanya adalah kudus mengingat semuanya
diciptakan oleh Allah Yang Kudus.
Di
sinilah, manusia tak hanya menjadi makhluk sosial, namun juga ekologis, terajut
dalam relasi persaudaraan yang ilahiah sekaligus kudus.
إرسال تعليق for "Makhluk Sosial-Ekologis"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق