Dalam sebuah
pertemuan Bapak-Bapak Katolik di sebuah lingkungan, seorang bapak mengatakan
dua hal penting bahwa, pertama, kita tidak bisa hidup tanpa orang lain. (Maka
konsekuensinya) kedua, kita harus berguna untuk orang lain. Dua pernyataan itu
terkesan biasa bagiku mengingat hal itu biasa dibaca dalam buku, atau tentang
hal itu saya biasa mendengar dari beberapa orang.
Namun,
saya sadar, ketika yang mengatakan adalah orang tersebut, biasa disapa Pak
Puja, saya menjadi yakin. Pernyataan itu bukan hanya menjadi sekadar isapan
jempol ataupun kata-kata sok bijak. Ia mengatakan pernyataan itu dan sekaligus telah
melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal
itu tampak nyata dalam keseharian cara hidupnya. Selepas bekerja seharian, ia
tak pernah tinggal diam di rumah. Ia lebih sering berada di tempat biasa para
bapak-ibu atau orang-orang biasa berkumpul di kampung kami. Meski hanya duduk
dan melontarkan obrolan ringan, ia selalu menyempatkan diri untuk berada di
tempat itu. Seolah, baginya, perjumpaan adalah sesuatu yang menyatakan bahwa
kita tak bisa hidup tanpa orang lain dan kita harus berguna bagi orang lain.
Siapa
yang sanggup hidup sendiri? Tentu tak ada yang bisa, sekecil apapun, bahkan
hanya berjumpa dan terlibat dalam obrolan, kita membutuhkan orang lain. Pak
Puja melakukan itu. Kehadirannya ternyata berguna untuk orang lain di
sekitarnya. Sore hari hingga malam adalah saatnya orang-orang melepas lelah
setelah seharian bekerja. Dalam suasana itu, orang-orang yang berkumpul di
tempat umum, yang biasa menjadi tempat berkumpul itu, saling berkisah tentang
apapun dari masalah berat sampai yang kecil. Berbagai ide-ide pun bermunculan
di tempat itu bahkan sebelum pertemuan tingkat RW digelar yang bisa menjadi
diskursus. Di situlah benih-benih ide disemai, lalu tinggal dimantapkan di
forum pertemuan tingkat RW.
Tempat itu
lebih merupakan teras kecil yang menempel dinding rumah seorang warga. Di
dekatnya ada pohon rambutan. Masyarakat setempat biasa menyebut pohon ace.
Maka, tempat itu pun dikenal dengan sorce (ngisor
ace). Di tempat itu pula ide tumbuh
dengan alamiah melalui perjumpaan dan obrolan ringan.
Akhirnya
saya tahu, bahwa kehadiran lelaki separuh baya itu di tempat tersebut sebenarnya
selain karena dirinya merasa butuh orang lain, ia juga ingin berguna untuk
orang lain. Sedikit banyak ia tentu telah memberi semangat pada orang-orang atau
bapak-bapak yang lebih muda untuk memaknai hidupnya dalam keluarga, pekerjaan
maupun masyarakat.
Tak
hanya omongan, dirinya pun ringan tangan. Pekerjaan-pekerjaan di kampung pun
tak segan ia selesaikan. Berbekal keahliannya sebagai tukang batu, ia kerap
menerapkan keahliannya tersebut di kampungnya untuk memperbaiki fasilitas
publik kampung tanpa pamrih.
Meski
tak semua orang mau melakukan pekerjaan tersebut, toh, ia tetap mau
menyelesaikah pekerjaan tersebut secara total. Padahal hidupnya juga tak
berlebihan, namun ia mau berbagi untuk kampungnya. Ia tidak hitung-hitungan
untuk orang lain. Bagaimana masyarakat kampung kami tanpa Pak Puja? Tentu
wajahnya akan berbeda. Sumbangsing Pak Puja sungguh sangat terasa.
Belajar
darinya, memang benar bahwa manusia tak bisa hidup tanpa orang lain. Dan maka
dari itu, manusia pun harus berguna untuk orang lain. Di sanalah saling memberi
dan menerima terjadi dengan sempurna.
إرسال تعليق for "Hidup Karena Orang Lain, Berguna untuk Orang Lain"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق