Membludaknya sampah
begitu memprihatinkan. Bukannya makin menyusut, bahkan sampah dari hari ke hari
makin menggunung. Tak hanya volume yang meningkat, namun jenisnya pun makin
beragam. Jenis sampah hari ini semakin beragam jika dibanding dua dekade lalu.
Padahal, di antara sampah-sampah tersebut, ada yang tak dikelola dengan baik.
Kompas, 7 Maret 2014,
mencatat jumlah sampah nasional sebanyak 200.000 ton per hari. Perkiraan jumlah
timbunan sampah perkotaan di Indonesia 38,5 juta ton per tahun dengan laju
peningkatan 2-4 persen per tahun. Sampah tersebut berasal dari rumah tangga 48
persen, pasar tradisional 24 persen, kawasan komersial 9 persen, dan fasilitas
publik, sekolah, kantor, dan jalan sebanyak 19 persen. Berdasarkan survei, setiap
orang menghasilkan 0,8-1,5 kilogram sampah setiap hari. Adapun jenis sampah
yang ada terdiri dari 60 persen organik (sisa makanan/tumbuhan), 17 persen
logam, karet, kain dan perca; 9 persen kertas; dan 14 persen plastik. Sedangkan
pengelolaan sampah yang dilakukan adalah 68 persen diangkut dan ditimbun, 9
persen dikubur, 6 persen diolah jadi kompos-daur ulang, 5 persen dibakar dan 7
persen tak terkelola.
Sementara
itu sebagai perbandingan, kota Malang dengan penduduk 895.338 dan ditambah penghuni
tak tercatat sekitar 250.000 jiwa menghasilkan sampah 607,44 ton per hari. Dari
jumlah itu, tak kurang dari 412,98 ton sampah masuk Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) dengan komposisi 65 persen sampah organik; 6,2 persen kertas; 15,7 persen
plastik; 0,6 persen kaca; 0,2 persen logam dan 3 persen kain (bdk Kompas, 14
Maret 2014).
Data-data
itu mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum menghasilkan sampah
yang tak sedikit dan belum mengelola sampahnya dengan baik. Padahal sampah yang
makin menggunung dan tak terkelola dengan baik, terutama sampah anorganik, berpotensi
merusak ekosistem. Manusia pun tak luput dari ancaman itu.
Mengabaikan
pengelolaan sampah merupakan bentuk kesalahan cara pandang manusia terhadap alam
ini. Menurut Alexander Sonny Keraf (2010:79), kesalahan cara pandang ini
bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari
alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri,
sementara alam dan segala isinya yang lain hanya sekadar sarana atau alat untuk
memenuhi kepentingan manusia.
Bahkan
dalam kenyataannya, tak hanya itu. Manusia satu terhadap manusia lainnya pun
tidak saling menghormati sebagai sesama manusia yang sama-sama memiliki nilai. Membuang
sampah sembarangan dan berpotensi menyulitkan hidup tetangga rumah, tetangga kampung
ataupun tetangga wilayah pun kerap terjadi. Kebiasaan membuang sampah dengan
semangat Not In My Back Yard (NIMBY)
adalah contoh nyata manusia tak menghargai sesamanya. Bencana banjir memperlihatkan
sampah yang dibuang masyarakat di aliran sungai bagian atas menyengsarakan
masyarakat yang tinggal di daerah bagian bawah. Sampah seperti itu pula yang
memperparah banjir di Jakarta. Sampah itu seperti kasur, bambu, kayu, lemari,
kulkas, furnitur, dan perabot rumah tangga lainnya.
Di Indonesia telah
terbit Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan Sampah yang mengharuskan
masyarakat melakukan pengurangan dan pengelolaan sampah di tingkat individu
ataupun komunitas, jadi bukan bersifat suka rela. Namun, pada kenyataannya sangat
sulit menerapkan hal itu mengingat penegakan dan pemberian sanksi terhadap
pelanggar tidak berjalan dengan baik.
Di samping kesalahan
filosofis dan cara pandang terhadap alam, Alexander Sonny Keraf (2010:78), menuliskan
faktor-faktor yang menjadi akar dari krisis dan bencana lingkungan global yakni
faktor paradigma pembangunan dan kebijakan pemerintah, faktor kemajuan
peradaban manusia berupa modernisasi, faktor buruknya tata kelola pemerintahan,
faktor desentralisasi dan liberalisasi politik yang berkembang di Indonesia,
faktor lemahnya komitmen moral dan faktor lemahnya penegakan hukum. Permasalahan
sampah yang tak pernah selesai pun tak lepas dari faktor-faktor itu.
Menurut penulis yang
terpenting adalah cara pandang manusia terhadap alam yang perlu diperbarui dari
cara pandang antroposentrisme menjadi biosentrisme atau biotisme bahkan menjadi
ekosentrisme. Karena pada prinsipnya manusia itulah yang akan menjadi penentu
dalam cara berada di alam semesta ini, entah di pemerintahan, masyarakat sipil,
maupun dunia usaha (pasar).
Jika biosentrisme mendasarkan
bahwa tidak hanya manusia yang mempunyai nilai, namun alam, semua makhluk hidup
juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri, maka ekosentrisme menukik pada
seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup ataupun tidak. Dalam konteks ekologis,
baik makhluk hidup maupun benda abiotik selalu terjalin hubungan yang saling
mempengaruhi, maka konsep ekosentrisme tak hanya memperhatikan makhluk hidup.
Manusia berada dalam
sebuah komunitas kehidupan. Ia menjadi salah satu entitas warga kehidupan yang
berada bersama makhluk hidup maupun benda abiotik/tak hidup lainnya. Maka, cara
berada manusia juga mempengaruhi kondisi yang ada dalam komunitas kehidupan itu
sendiri.
Meminjam narasi Adam
dan Hawa dalam Kitab Kejadian, terlihat bahwa manusia lekat dengan keserakahan.
Setelah mencipta alam semesta yang sungguh amat baik (Kej 1:31), selanjutnya, TUHAN
Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk
mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej 2:15) dengan perintah dan
larangannya. Namun, pada gilirannya manusia lebih menunjukkan kerakusannya,
memakan buah larangan. Semestinya, manusia menjadi penjaga taman Eden dengan
tidak melanggar larangan-Nya.
Hal itu juga masih
berlangsung hingga hari ini. Manusia cenderung merusak alam, dalam hal ini manusia
lebih suka membuang/memproduksi sampah secara tak bertanggungjawab. Bukannya
mengurangi, manusia entah yang berada dalam masyarakat sipil, pelaku usaha
bahkan pemerintah sekalipun cenderung terlibat dalam perusakan bumi melalui
produksi sampah yang tak bertanggungjawab.
Tak hanya merusak
lingkungan hidup, sampah nyata-nyata mengancam kehidupan manusia. Berbagai
penyakit mengintai manusia secara langsung. Sampah juga berdampak pada turunnya
kualitas lingkungan hidup yang menjadi sandaran hidup tak hanya manusia bahkan
makhluk hidup lainnya. Ikan di sungai tercemar logam berat. Sungai-sungai
kotor, ikan-ikan terkena racun dan punah. Turunnya daya dukung alam akibat
sampah juga menurunkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam kondisi itu,
manusia dipanggil kembali untuk menjadi penjaga taman Eden. Manusia, kita
semua, adalah salah satu warga dalam taman Eden itu. Tak hidup sendiri, tak
hanya sebagai makhluk sosial yang bergaul dengan sesama manusia, namun, manusia
juga makhluk ekologis yang hidup dan bereaksi timbal balik dengan alam
lingkungan dan menggantungkan hidupnya pada alam lingkungan.
Dalam hal itu, tak ada
yang lain, manusia harus meruntuhkan egonya yang meyakini bahwa dirinya sebagai
pusat dari alam semesta dan satu-satunya makhluk yang bernilai. Kalaupun tidak
menganut biotisme, menurut Emil Salim, maka minimal kita harus anut paham
humanisme, menghentikan krisis lingkungan yang menjadikan manusia sebagai
korbannya. Semangat humanisme ini mendorong manusia berbuat (Alexander Sonny
Keraf (2010:8). Bersamaan dengan itu menjaga alam adalah juga memperjuangkan
keadilan kehidupan untuk generasi yang akan datang. Tak hanya membangun
keadilan saat ini, keadilan masa depan pun harus diwujudkan. Jika kita masih
merasakan segarnya air hari ini, keturunan kita kelak pun harus menikmati
seperti yang kita nikmati saat ini.
Jangan sampai
sampah-sampah kita mengancam kehidupan tetangga-tetangga kita, lingkungan alam
kita, bahkan generasi yang akan datang.
إرسال تعليق for "Sampah di "Taman Eden""
Kesan/Pesan
إرسال تعليق