Pagi-pagi benar, ketika
saya menyapu halaman, tiba-tiba seorang pembantu rumah tangga yang bekerja di
sebuah rumah dekat tempat saya berkarya keluar sambil membawa bungkusan kantong
plastik. Tiba-tiba ia berjalan mendekati sebuah pagar yang cukup tinggi dan ia
pun melempar bungkusan itu ke kebun tetangga yang tak terlihat karena terhalang
pagar tinggi tersebut.
Saya pun terkejut dengan
tindakan orang itu. Memang, rumah tempat ia bekerja kelihatan bersih. Ternyata,
kebersihan itu dilakukan dengan membuang sampah ke kebun orang lain. Di antara
kita pun barangkali juga pernah dan masih melakukan hal tersebut sampai hari
ini.
Kerap kali, kita
menginginkan diri dan lingkungan kita bersih. Namun hal itu dilakukan dengan
cara membuat orang lain dan lingkungannya kotor oleh sampah-sampah kita. Kita
membuang sampah di lahan orang lain. Ini disebut sebagai semangat NIMBY (Not In My Back Yard), yang
penting bukan di halaman sendiri. Kita
mendapat keuntungan dengan mengorbankan pihak lain. Dalam hal ini sebenarnya,
kita menari-nari di atas penderitaan orang lain. Demikian kata peribahasa.
Jika
dipikir lebih lanjut, jika semua orang melakukan semangat NIMBY, kita semua
akan saling melempar sampah di antara kita. Bukankah itu hampir mirip dengan
mata ganti mata, gigi ganti gigi. Dalam hal ini yang terjadi adalah sampah
ganti sampah.
Atau, bisa juga kita
beramai-ramai menghancurkan sebuah ekosistem, misalnya membuang sampah bersama ke
sungai atau laut. Perlahan namun pasti, kegiatan itu sebenarnya sedang
menghancurkan dua ekosistem tersebut.
Padahal ketika kita
membuang sampah secara sembarangan dan di sembarang tempat, terlebih sampah itu
adalah sampah berbahaya, bukan hanya manusia yang terancam bahaya, namun
makhluk baik tumbuhan dan hewan pun terancam terganggu kehidupannya.
Sampah dibuang
sedemikian rupa karena manusia menganggap sampah adalah barang yang sudah tak
berguna. Karena barang tak berguna, maka sampah itu harus dienyahkan dari
rumah. Anggapan bahwa sampah adalah benda tak berguna inilah yang mengkibatkan
orang beramai-ramai membuang sampah, entah membuang sampah di tempat yang telah
disediakan atau di tempat-tempat lain yang sebenarnya tidak dikondisikan sebagai
tempat pembuangan sampah.
Karena anggapan bahwa
sampah adalah benda tak berguna, maka sikap manusia pada sampah itu pun tak
menunjukkan sikap menghargai lagi. Maka, cara perlakuannya pun cenderung serampangan.
Sampah pun dibuang begitu saja. Pikirnya selesai dengan semua itu.
Data produksi sampah
menujukkan demikian. Sampah di Jakarta dalam sehari rata-rata terkumpul 5.681,02
ton (Koran Sindo, 7 Nopember 2013). Dalam sehari setiap orang Indonesia menghasilkan sampah 2,39 liter. Untuk
kota metropolitan yang berpenduduk lebih dari sejuta orang, angka produksi
sampah mencapai 2,81 liter per orang setiap hari (Suara Pembaruan, Rabu, 5 Oktober
2005, hal. 15). Sedangkan di Semarang, produksi sampah harian sudah
mencapai 800 ton/hari (Suara Merdeka, 11 September 2013).
Sebagian
sampah tersebut di buang di kali. Kebiasaan buruk sebagian masyarakat DKI
Jakarta dalam membuang sampah ke kali masih cukup tinggi. "Rata-rata
setiap hari 180-200 ton sampah dari seluruh kali untuk musim kemarau,"
kata Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Unu Nurdin. Sedangkan pada musim hujan
mencapai sekitar 240-280 ton per hari. (http://www.tempo.co/read/news/2013/10/21/214523228/Volume-Sampah-Kali-Jakarta-200-Ton-Per-Hari).
Sampah-sampah
itu tentu saja didominasi oleh sampah yang diproduksi oleh manusia. Dari data
itu terlihat bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk bersampah. Namun, pemahaman
mengenai sampah itu sendiri berbeda-beda. Kecenderungan sampai saat ini, sampah
masih dianggap hanya sebagai benda tak berguna. Maka cara perlakuan terhadap
sampah pun sangat mengerikan.
Sampah
tersebut ada yang merupakan sampah biologis dari manusia maupun sampah yang
dihasilkan dari produksi manusia misalnya industrialisasi. Sampah tersebut,
jika tidak dikelola dengan baik, akan merugikan manusia maupun makhluk ciptaan
lainnya.
Yang dibutuhkan saat
ini sebenarnya adalah pemahaman mengenai prinsip ekologis khususnya mengenai
sampah atau sisa. Dalam Jurnal Filsafat dan Teologi “DISKURSUS” Volume 12,
Nomor 1, April 2013, hal. 69, A. Sony Keraf mengutip salah satu prinsip ekologis yang
dikenalkan Fritjof Capra, yakni siklus. Menurut Capra, semua organisme dengan
sendirinya hidup dan berkembang berkat pasokan energi dan materi sebagai
“makanan”nya dari rangkaian tak terputus pasokan energi dan materi dari
lingkungan tempat setiap organisme hidup dan berkembang.
Secara sederhana, sisa
proses produksi (sampah) satu organisme menjadi sumber makanan atau energi bagi
organisme lainnya. Dan hal itu akan
terus menerus mengikuti alur siklus dalam jarring-jaring kehidupan. Dengan
demikian sebenarnya, sampah itu menjadi berkah bagi organisme atau makhluk
lainnya entah manusia maupun non manusia.
Sayangnya, manusia
berpikir terlalu antroposentris. Dia merasa dirinya adalah pusat bagi alam
semesta. Maka, ia hanya mengambil sesuatu dari alam yang berguna untuk dirinya
yang kadang dilakukan dengan cara yang kurang bijaksana. Demikian pula, ia
membuang sampah atau limbah hasil produksinya dengan cara yang tidak bijaksana
ke tempat-tempat yang tidak semestinya.
Dengan memahami prinsip
ekologis siklus atau daur ulang, semestinya manusia meneruskan sampah-sampah
itu yang adalah berkat bagi makhluk-makhluk lainnya. Dengan pemahaman itu, maka
habitus membuang sampah semestinya berganti menjadi menaruh sampah. Karena,
sampah tersebut adalah sesuatu yang berguna bagi organisme selanjutnya, yang
pada gilirannya kelak juga menguntungkan manusia itu sendiri. Dengan demikian
sebenarnya, manusia melalui sampah tersebut sedang menyalurkan berkat, dari
sisa-sisa produksinya untuk kemudian menjadi sumber energi atau makanan bagi organisme
lainnnya.
Yang perlu dilakukan
lebih lanjut, semestinya manusia perlu mengenali sampah yang diproduksinya dan tahu
alamat yang tepat ketika akan menaruh atau menempatkan sampah tersebut
selanjutnya. Dengan demikian, sampah-sampah tersebut teridentifikasi dengan
baik dan tidak salah alamat.
Maka, habitus membuang
sampah berganti menjadi habitus menaruh sampah di tempat atau pada pihak-pihak
yang tepat. Manusia yang membuang sampah sembarangan menunjukkan bahwa dirinya tidak
menyadari sampah itu sebagai berkah karena tidak bisa menjadikan sampah
tersebut sebagai energi atau makanan bagi organisme lainnya dan yang juga bisa
menguntungkan dirinya.
Hal-hal baik yang sebenarnya
sudah mulai dilakukan adalah mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang
atau yang biasa dikenal dengan 3R (reduce,
reuse dan recycle). Para nenek moyang terbiasa mengolah kotoran ternaknya
menjadi pupuk, mendaur ulang (recycle)
kotoran ternak menjadi pupuk, menjadi makanan dan energi bagi tumbuh-tumbuhan.
Di era sekarang ini,
ketika budaya konsumtif melanda, sudah saatnya masyarakat melakukan pantang (mengurangi)
belanja barang-barang yang tak begitu penting dan selanjutnya, menggunakan
kembali barang-barang yang masih berfungsi. Sebab, berbelanja, sebenarnya
memproduksi sampah. Demikian pula ketika melakukan aktivitas produksi, produsen
perlu berpikir menuju paradigma zero
waste (sampah nol), misalnya dengan daur ulang sampah-sampah produksinya. Dengan
demikian, sampah-sampah tak berserakan.
Hal yang penting
dipertimbangkan dalam skala privat maupun komunal adalah kesadaran bersama akan
prinsip ekologis yakni siklus atau daur ulang. Sehingga setiap kali memproduksi
dan mengonsumsi, yang terpikirkan dan kemudian dilakukan adalah mencari cara untuk mendaur ulang sampah itu
supaya menjadi berguna dan menjadi berkah bagi organisme lainnya, entah manusia
maupun ciptaan lainnya. Sehingga komunitas kehidupan akan hidup dalam suasana
saling mendukung, karena mereka saling berbagi sampah yang merupakan makanan
dan energi dalam mekanisme jaring-jaring kehidupan.
Dengan demikian, amanat
manusia sebagai penjaga bumi dilaksanakan. “TUHAN Allah mengambil manusia itu
dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”
(Kej 2:15).
إرسال تعليق for "Berbagi Berkah Sampah"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق