Pepohonan tampak tak
bergerak. Bahkan angin pun seakan mati beku. Aku pun mencoba membayangkan dalam
pikiranku. Bagaimana makhluk di bumi jika tak ada matahari? Mereka, kita, tak
mempunyai kehidupan. Baru beberapa menit berjalan di pagi hari tanpa cahaya
matahari saja tubuh ini seakan tidak kuat. Apalagi jika tak ada matahari.
Selain member1
kehangatan secara langsung, matahari berjasa besar dalam proses fotosintesis
tumbuhan. Dan dari proses fotosintesis itu, tumbuhan menghasilkan oksigen yang
dihirup makhluk hidup, salah satunya manusia. Dalam hal itu, matahari memegang
peranan yang amat penting.
Saya
yang kedinginan ini sebenarnya juga sedang menunggu hangatnya cahaya matahari. Setelah
melihat sekelilingku, aku menyadari, ternyata yang menunggu cahaya matahari
tidak hanya aku, melainkan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Aku
mendengar burung-burung yang berkicau di pagi hari. Mereka rupanya riang
menunggu cahaya matahari muncul dari balik bukit. Mereka melompat-lompak
kegirangan dari satu dahan ke dahan lainnya. Aku pun mendengar suara anak
burung yang bercicit gembira di pagi itu. Tumbuhan pun saya rasa demikian. Mereka
menunggu cahaya matahari melalui daun-daun yang diliputi embun tipis itu. Semua
menunggu cahaya matahari tak terkecuali
diriku.
Pagi
itu, seakan semua tertegun, menanti penuh harap pada matahari. Pandangan mataku
pun kualihkan pada bukit di seberang sana. Tampak semburat merah jingga di
atasnya. Indah tak terkira. Siapakah yang melukis warna cahaya itu? Sangat
indah. Ya, Tuhanlah yang menjadikan semua itu terjadi, sejak purba. Namun,
keindahan itu selama ini tak kurasakan dan kusadari. Kali ini, aku mencoba
menyadari detik demi detik kehadiran cahaya matahari itu.
Aku sengaja membiarkan
tubuhku ini disergap hawa dingin pagi. Meski tubuh ini menggigil, aku berusaha
bertahan, menanti matahari. Peristiwa ini, sangat jarang kulakukan. Menunggu
matahari. Acapkali, aku hanya melewati pagi begitu saja. Tanpa kusadari
ternyata ada peristiwa agung yang sudah sejak lama, sejak zaman purba, telah
terjadi. Setiap pagi, cahaya matahari terbit. Bermula dari peristiwa itu,
kehidupan muncul dengan sangat indah. Pagi yang sangat indah ini benar-benar
kunikmati, kumaknai detik demi detik karena di sana proses penciptaan
sebenarnya juga sedang terjadi.
Dan kubiarkan pula
dengan penuh harap, hawa dingin yang melingkupiku dilucuti oleh hangat cahaya
matahari. Detik demi detik kurasakan perubahan itu. Mataku pun masih berpaling
pada semburat merah di bukit sebelah timur. Perlahan namun pasti, rasa dingin
itu diterpa kehangatan. Pelan-pelan kurasakan kehangatan itu merambat. Indera
tubuhku menangkap dengan baik peristiwa pagi itu. Betapa agungnya diri-Mu, wahai
Tuhan Pencipta alam raya ini. Ciptaan-Mu sungguh hebat menggambarkan
kehebatan-Mu yang tiada tara.
Aku pun merasa, yang
menikmati kenikmatan cahaya pagi itu, tak hanya diriku. Hewan dan tumbuhan pun
bersuka ria. Pagi, memang peristiwa yang sangat menggembirakan. Bersorak
bersama alam semesta memuji keagungan Tuhan yang telah berkarya jauh sebelumnya
hingga detik ini.
Dari peristiwa itu, aku
belajar, manusia tak bisa hidup lepas dari alam ciptaan Tuhan. Manusia adalah makhluk
yang tak mungkin bisa hidup sendiri. Ia hidup dari karena sinar matahari, air,
tanah, hewan maupun tumbuhan. Sementara itu hewan hidup dari tumbuhan. Tumbuhan
hidup tak lepas dari peranan matahari.
Namun, manusia sering
lupa dan abai akan relasi itu. Manusia pikir, dia bisa hidup sendiri. Sesungguhnya
ketika dia berpikir dia bisa hidup sendiri, dia telah mengambil sangat banyak
dari hidup ini. Sebenarnya, jujur atau tidak, sadar atau tidak, manusia tahu
bahwa ia tidak bisa hidup sendiri. Karena setiap hari, manusia jelas-jelas
makan dan minum dari alam yang dia beli entah di warung, toko atau
tempat-tempat perbelanjaan yang lainnya.
Yang menjadi masalah
adalah, manusia tak mau berbuat sebaliknya untuk alam ini. Manusia selama ini
hanya peduli dengan caranya mengonsumsi. Lebih-lebih lagi, dalam era
konsumtivisme ini, manusia berlomba mengonsumsi sebanyak-banyaknya,
serakus-rakusnya, menyedot habis kekayaan alam yang sebenarnya juga dibutuhkan
oleh makhluk ciptaan lain.
Hasil-hasil alam
dikuras habis-habisan hanya untuk memenuhi ambisinya dan memuaskan nafsu
keserakahannya. Pertambangan dibuka di banyak tempat meski sebenarnya daerah
itu adalah daerah subur untuk pertanian. Selanjutnya, akibat pembukaan
pertambangan, lahan pertanian dirusak dengan alasan bahwa pertambangan bisa
menghasilkan lebih banyak pundi-pundi uang.
Manusia tak peduli lagi
bahwa ulahnya bisa merusak alam yang pada gilirannya juga mengancam manusia itu
sendiri. Sebab sebenarnya manusia itu menggantungkan hidupnya pada alam itu
sendiri. Ketika alam rusak, kehidupan manusia juga terancam.
Manusia telah menjadi
sedemikian terasing dengan alam. Bisa jadi, hal itu disebabkan situasi manusia
yang hidup dalam rutinitas harian. Bisa jadi karena makanan yang mereka makan
hanya dibeli dari tempat lain dan tidak diperoleh secara langsung dari alam.
Tentu pemaknaannya akan berbeda dengan seorang petani yang makan dari pangan yang
diproduksi sendiri dengan ditanam di lahan tanah yang mengandalkan kebaikan
alam. Seorang petani pasti sadar betul, bahwa alam adalah mitra yang sangat
baik. Maka di sana ada proses saling memberi dan menerima antara manusia dengan
alam ini.
Manusia terutama yang
bukan petani, dalam mengonsumsi makanannya sudah sangat berjarak dengan alam
yang memproduksi makanan itu sendiri. Makanan yang dimakannya telah melewati
rantai distribusi perdagangan yang panjang dan mengasingkan manusia dengan
sumber pangan itu sendiri. Meskipun demikian, dalam hal rantai kehidupan
sebenarnya jarak antara manusia dengan alam sangat pendek.
Mungkin dengan
merenungi pagi, sebenarnya kita diajak untuk memaknai cara kita hidup di alam
ini. Bahwa manusia hanyalah salah satu ciptaan di antara yang lainnya. Manusia
hidup bersama dengan yang ciptaan yang lainnya dengan hukum-hukum yang sudah
berlaku sejak lama. Bahwa ada kaitan erat antara tumbuhan dengan matahari, ada
kaitan erat antara manusia dan tumbuhan, ada kaitan erat antara hewan dan
tumbuhan, maupun ada kaitan erat antara manusia dan hewan. Kaitan-kaitan itu
sebenarnya saling membentuk jaring-jaring kehidupan. Dan, manusia bergantung pada semua makhluk
itu.
Pagi menjadi saat yang
indah untuk merefleksi semua itu. Suasana yang awalnya amat dingin karena belum
ada cahaya matahari yang muncul, hingga suasana yang menghangat sejak sinar
matahari muncul menjadi saat-saat yang tepat bahwa manusia maupun makhluk hidup
lainnya sebenarnya tidak pernah bisa hidup sendiri.
Tuhan telah menetapkan
bahwa dalam alam semesta ini, kita semua dipanggil untuk saling memberi dan
menerima, bergotong royong, untuk memuliakan kehidupan.
إرسال تعليق for "Pada Suatu Pagi"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق