Ketika pagi masih gelap dan dingin, aku bangun dari tidur. Musim panas di bulan September itu menyisakan hawa dingin semalam di pagi hari. Bahkan teramat dingin. Meskipun demikian, sejenak setelah berdoa, aku memaksa tubuh ini melangkah membuka pintu dan keluar. Sejenak, hawa dingin itu seakan menyelimutiku dengan amat erat. Yang terasa hanya dingin yang tak terkira. Di tengah keremangan itu, kucoba tuk menikmati pagi seadanya. Dan yang ada pada waktu itu adalah hawa dingin. Dingin. Dingin. Dengan melipat kedua tangan di dada, aku menuju halaman.  Pelan-pelan, kulangkahkan kaki ini menuju tempat yang agak tinggi.
Pepohonan tampak tak bergerak. Bahkan angin pun seakan mati beku. Aku pun mencoba membayangkan dalam pikiranku. Bagaimana makhluk di bumi jika tak ada matahari? Mereka, kita, tak mempunyai kehidupan. Baru beberapa menit berjalan di pagi hari tanpa cahaya matahari saja tubuh ini seakan tidak kuat. Apalagi jika tak ada matahari.
Selain member1 kehangatan secara langsung, matahari berjasa besar dalam proses fotosintesis tumbuhan. Dan dari proses fotosintesis itu, tumbuhan menghasilkan oksigen yang dihirup makhluk hidup, salah satunya manusia. Dalam hal itu, matahari memegang peranan yang amat penting.

            Saya yang kedinginan ini sebenarnya juga sedang menunggu hangatnya cahaya matahari. Setelah melihat sekelilingku, aku menyadari, ternyata yang menunggu cahaya matahari tidak hanya aku, melainkan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan. Aku mendengar burung-burung yang berkicau di pagi hari. Mereka rupanya riang menunggu cahaya matahari muncul dari balik bukit. Mereka melompat-lompak kegirangan dari satu dahan ke dahan lainnya. Aku pun mendengar suara anak burung yang bercicit gembira di pagi itu. Tumbuhan pun saya rasa demikian. Mereka menunggu cahaya matahari melalui daun-daun yang diliputi embun tipis itu. Semua menunggu  cahaya matahari tak terkecuali diriku.
            Pagi itu, seakan semua tertegun, menanti penuh harap pada matahari. Pandangan mataku pun kualihkan pada bukit di seberang sana. Tampak semburat merah jingga di atasnya. Indah tak terkira. Siapakah yang melukis warna cahaya itu? Sangat indah. Ya, Tuhanlah yang menjadikan semua itu terjadi, sejak purba. Namun, keindahan itu selama ini tak kurasakan dan kusadari. Kali ini, aku mencoba menyadari detik demi detik kehadiran cahaya matahari itu.
Aku sengaja membiarkan tubuhku ini disergap hawa dingin pagi. Meski tubuh ini menggigil, aku berusaha bertahan, menanti matahari. Peristiwa ini, sangat jarang kulakukan. Menunggu matahari. Acapkali, aku hanya melewati pagi begitu saja. Tanpa kusadari ternyata ada peristiwa agung yang sudah sejak lama, sejak zaman purba, telah terjadi. Setiap pagi, cahaya matahari terbit. Bermula dari peristiwa itu, kehidupan muncul dengan sangat indah. Pagi yang sangat indah ini benar-benar kunikmati, kumaknai detik demi detik karena di sana proses penciptaan sebenarnya juga sedang terjadi.
Dan kubiarkan pula dengan penuh harap, hawa dingin yang melingkupiku dilucuti oleh hangat cahaya matahari. Detik demi detik kurasakan perubahan itu. Mataku pun masih berpaling pada semburat merah di bukit sebelah timur. Perlahan namun pasti, rasa dingin itu diterpa kehangatan. Pelan-pelan kurasakan kehangatan itu merambat. Indera tubuhku menangkap dengan baik peristiwa pagi itu. Betapa agungnya diri-Mu, wahai Tuhan Pencipta alam raya ini. Ciptaan-Mu sungguh hebat menggambarkan kehebatan-Mu yang tiada tara.
Aku pun merasa, yang menikmati kenikmatan cahaya pagi itu, tak hanya diriku. Hewan dan tumbuhan pun bersuka ria. Pagi, memang peristiwa yang sangat menggembirakan. Bersorak bersama alam semesta memuji keagungan Tuhan yang telah berkarya jauh sebelumnya hingga detik ini.
Dari peristiwa itu, aku belajar, manusia tak bisa hidup lepas dari alam ciptaan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang tak mungkin bisa hidup sendiri. Ia hidup dari karena sinar matahari, air, tanah, hewan maupun tumbuhan. Sementara itu hewan hidup dari tumbuhan. Tumbuhan hidup tak lepas dari peranan matahari.
Namun, manusia sering lupa dan abai akan relasi itu. Manusia pikir, dia bisa hidup sendiri. Sesungguhnya ketika dia berpikir dia bisa hidup sendiri, dia telah mengambil sangat banyak dari hidup ini. Sebenarnya, jujur atau tidak, sadar atau tidak, manusia tahu bahwa ia tidak bisa hidup sendiri. Karena setiap hari, manusia jelas-jelas makan dan minum dari alam yang dia beli entah di warung, toko atau tempat-tempat perbelanjaan yang lainnya.
Yang menjadi masalah adalah, manusia tak mau berbuat sebaliknya untuk alam ini. Manusia selama ini hanya peduli dengan caranya mengonsumsi. Lebih-lebih lagi, dalam era konsumtivisme ini, manusia berlomba mengonsumsi sebanyak-banyaknya, serakus-rakusnya, menyedot habis kekayaan alam yang sebenarnya juga dibutuhkan oleh makhluk ciptaan lain.
Hasil-hasil alam dikuras habis-habisan hanya untuk memenuhi ambisinya dan memuaskan nafsu keserakahannya. Pertambangan dibuka di banyak tempat meski sebenarnya daerah itu adalah daerah subur untuk pertanian. Selanjutnya, akibat pembukaan pertambangan, lahan pertanian dirusak dengan alasan bahwa pertambangan bisa menghasilkan lebih banyak pundi-pundi uang.
Manusia tak peduli lagi bahwa ulahnya bisa merusak alam yang pada gilirannya juga mengancam manusia itu sendiri. Sebab sebenarnya manusia itu menggantungkan hidupnya pada alam itu sendiri. Ketika alam rusak, kehidupan manusia juga terancam.
Manusia telah menjadi sedemikian terasing dengan alam. Bisa jadi, hal itu disebabkan situasi manusia yang hidup dalam rutinitas harian. Bisa jadi karena makanan yang mereka makan hanya dibeli dari tempat lain dan tidak diperoleh secara langsung dari alam. Tentu pemaknaannya akan berbeda dengan seorang petani yang makan dari pangan yang diproduksi sendiri dengan ditanam di lahan tanah yang mengandalkan kebaikan alam. Seorang petani pasti sadar betul, bahwa alam adalah mitra yang sangat baik. Maka di sana ada proses saling memberi dan menerima antara manusia dengan alam ini.
Manusia terutama yang bukan petani, dalam mengonsumsi makanannya sudah sangat berjarak dengan alam yang memproduksi makanan itu sendiri. Makanan yang dimakannya telah melewati rantai distribusi perdagangan yang panjang dan mengasingkan manusia dengan sumber pangan itu sendiri. Meskipun demikian, dalam hal rantai kehidupan sebenarnya jarak antara manusia dengan alam sangat pendek.
Mungkin dengan merenungi pagi, sebenarnya kita diajak untuk memaknai cara kita hidup di alam ini. Bahwa manusia hanyalah salah satu ciptaan di antara yang lainnya. Manusia hidup bersama dengan yang ciptaan yang lainnya dengan hukum-hukum yang sudah berlaku sejak lama. Bahwa ada kaitan erat antara tumbuhan dengan matahari, ada kaitan erat antara manusia dan tumbuhan, ada kaitan erat antara hewan dan tumbuhan, maupun ada kaitan erat antara manusia dan hewan. Kaitan-kaitan itu sebenarnya saling membentuk jaring-jaring kehidupan.  Dan, manusia bergantung pada semua makhluk itu.
Pagi menjadi saat yang indah untuk merefleksi semua itu. Suasana yang awalnya amat dingin karena belum ada cahaya matahari yang muncul, hingga suasana yang menghangat sejak sinar matahari muncul menjadi saat-saat yang tepat bahwa manusia maupun makhluk hidup lainnya sebenarnya tidak pernah bisa hidup sendiri.
Tuhan telah menetapkan bahwa dalam alam semesta ini, kita semua dipanggil untuk saling memberi dan menerima, bergotong royong, untuk memuliakan kehidupan.

Post a Comment

Kesan/Pesan