"Katakan kepada saya," kata seorang ateis, "apakah Allah itu sungguh-sungguh ada?"
Jawab Sang Guru, "Jika kamu menginginkan saya sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab."
Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.
"Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab," kata Sang Guru.
"Jadi, Guru juga ateis?"
"Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan."
Setelah diam sejenak, ia menambahkan:
"Dan orang teis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya."
Dialog itu adalah tulisan yang dicipta Antony de Mello SJ. Menariknya, dialog tersebut mencerminkan kecenderungan perilaku manusia. Tidak hanya saat ini, namun sejak dulu kala.
Manusia terpecah ada yang mempercayai Tuhan, demikian pula ada yang menolak percaya pada Tuhan. Menariknya, tak jarang, di antara mereka berada dalam tegangan yang ekstrem.
Mereka yang mengaku tidak percaya pada Tuhan berusaha meyakinkan orang lain dengan berbagai cara. Bagi orang-orang yang percaya pada Tuhan, cara orang-orang ateis tersebut sangat aneh. Orang yang beriman pada Tuhan menganggap orang-orang ateis adalah orang yang tak bisa mengakui kenyataan yang benar mengenai Tuhan. Mereka dianggap mengingkari sebuah kebenaran iman. Terlebih lagi, jika hal tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat dalam kitab suci.
Namun, bagi orang-orang ateis, orang-orang teis (orang percaya) adalah orang-orang yang tak masuk akal. Sebab, bagi mereka, orang-orang ateis, orang teis mempercayai sesuatu yang tak bisa dilihat. Agama bagaikan sebuah ruang proyeksi yang tak masuk akal. Agama menjadi ruang pelarian dari kesulitan hidup manusia. Bahkan Karl Marx menganggap agama adalah candu dunia. Sesuatu yang tak bisa menyelesaikan masalah.
Sementara itu, bagi orang-orang teis, orang-orang ateis adalah musuh yang harus dimusnahkan karena menolak sesuatu yang diimani oleh orang-orang teis. Bahkan orang-orang teis berusaha untuk menjelaskan Tuhan dengan berbagai cara. Membuat orang ateis menjadi percaya adalah prestasi yang dibanggakan. Hal itu bahkan menjadi ibadah yang sangat hebat. Maka, menjadikan ateis ke teis adalah obsesi para kaum teis.
Kaum teis mengekspresikan keyakinannya dengan agama atau kepercayaan. Mereka berlomba menyakinkan kaum ateis untuk menjadi teis, masuk dalam agama atau kepercayaannya. Padahal, agama dan kepercayaan tidak hanya satu. Alih-alih menjadikan orang ateis menjadi teis, para pemeluk agama justru saling berebut pengikut. Mereka saling berlomba meyakinkan iman pada orang-orang ateis.
Bagaikan promosi kecap yang mengklaim produknya adalah nomor satu, semua agama pun berusaha menampilkan dirinya nomor satu. Akibatnya terjadilah benturan keyakinan.
Benturan itu pun dilanjutkan dengan apologetika. Semua berlomba-lomba menyusun poin-poin kebenaran menurut keyakinannya masing-masing. Semua itu berdialektika, bahkan tak jarang berujung pada konflik.
Dari hal itu ada dua kutub masalah. Pertama, ambisi mengubah dari ateis ke teis dengan segala permasalahannya. Kedua, konflik kebenaran keyakinan iman yang tak jarang berujung pada konflik dan kekerasan.
Ada dan tidaknya Tuhan sebenarnya misteri. Masing-masing benar menurut perspektifnya. Maka, keduanya, baik yang teis maupun ateis, sebenarnya tidak perlu berbicara dan meyakinkan secara berlebihan bahkan ekstrem. Apalagi lagi hal itu ditempuh dengan kekerasan dan saling menyatakan sesat satu dengan yang lainnya. Maka, bagi Antony de Mello baik ateis maupun teis keduanya salah jika yang ateis menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan dan yang teis mencoba menjelaskannya, bahkan dengan berbagai cara yang mengingkari kebenaran itu sendiri.
Jawab Sang Guru, "Jika kamu menginginkan saya sungguh-sungguh jujur, saya tidak akan menjawab."
Para murid penasaran mengapa ia tidak menjawab.
"Karena pertanyaannya tidak dapat dijawab," kata Sang Guru.
"Jadi, Guru juga ateis?"
"Tentu saja tidak. Orang ateis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan."
Setelah diam sejenak, ia menambahkan:
"Dan orang teis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya."
Dialog itu adalah tulisan yang dicipta Antony de Mello SJ. Menariknya, dialog tersebut mencerminkan kecenderungan perilaku manusia. Tidak hanya saat ini, namun sejak dulu kala.
Manusia terpecah ada yang mempercayai Tuhan, demikian pula ada yang menolak percaya pada Tuhan. Menariknya, tak jarang, di antara mereka berada dalam tegangan yang ekstrem.
Mereka yang mengaku tidak percaya pada Tuhan berusaha meyakinkan orang lain dengan berbagai cara. Bagi orang-orang yang percaya pada Tuhan, cara orang-orang ateis tersebut sangat aneh. Orang yang beriman pada Tuhan menganggap orang-orang ateis adalah orang yang tak bisa mengakui kenyataan yang benar mengenai Tuhan. Mereka dianggap mengingkari sebuah kebenaran iman. Terlebih lagi, jika hal tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat dalam kitab suci.
Namun, bagi orang-orang ateis, orang-orang teis (orang percaya) adalah orang-orang yang tak masuk akal. Sebab, bagi mereka, orang-orang ateis, orang teis mempercayai sesuatu yang tak bisa dilihat. Agama bagaikan sebuah ruang proyeksi yang tak masuk akal. Agama menjadi ruang pelarian dari kesulitan hidup manusia. Bahkan Karl Marx menganggap agama adalah candu dunia. Sesuatu yang tak bisa menyelesaikan masalah.
Sementara itu, bagi orang-orang teis, orang-orang ateis adalah musuh yang harus dimusnahkan karena menolak sesuatu yang diimani oleh orang-orang teis. Bahkan orang-orang teis berusaha untuk menjelaskan Tuhan dengan berbagai cara. Membuat orang ateis menjadi percaya adalah prestasi yang dibanggakan. Hal itu bahkan menjadi ibadah yang sangat hebat. Maka, menjadikan ateis ke teis adalah obsesi para kaum teis.
Kaum teis mengekspresikan keyakinannya dengan agama atau kepercayaan. Mereka berlomba menyakinkan kaum ateis untuk menjadi teis, masuk dalam agama atau kepercayaannya. Padahal, agama dan kepercayaan tidak hanya satu. Alih-alih menjadikan orang ateis menjadi teis, para pemeluk agama justru saling berebut pengikut. Mereka saling berlomba meyakinkan iman pada orang-orang ateis.
Bagaikan promosi kecap yang mengklaim produknya adalah nomor satu, semua agama pun berusaha menampilkan dirinya nomor satu. Akibatnya terjadilah benturan keyakinan.
Benturan itu pun dilanjutkan dengan apologetika. Semua berlomba-lomba menyusun poin-poin kebenaran menurut keyakinannya masing-masing. Semua itu berdialektika, bahkan tak jarang berujung pada konflik.
Dari hal itu ada dua kutub masalah. Pertama, ambisi mengubah dari ateis ke teis dengan segala permasalahannya. Kedua, konflik kebenaran keyakinan iman yang tak jarang berujung pada konflik dan kekerasan.
Ada dan tidaknya Tuhan sebenarnya misteri. Masing-masing benar menurut perspektifnya. Maka, keduanya, baik yang teis maupun ateis, sebenarnya tidak perlu berbicara dan meyakinkan secara berlebihan bahkan ekstrem. Apalagi lagi hal itu ditempuh dengan kekerasan dan saling menyatakan sesat satu dengan yang lainnya. Maka, bagi Antony de Mello baik ateis maupun teis keduanya salah jika yang ateis menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan dan yang teis mencoba menjelaskannya, bahkan dengan berbagai cara yang mengingkari kebenaran itu sendiri.
إرسال تعليق for "Ateis Vs Teis"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق