Bagaimana perasaan Maria dan Yosef ketika menemukan Yesus
yang hilang setelah mereka bersusah payah mencari-Nya selama tiga hari. Tentu
mereka akan sangat senang dan bahagia. Namun, bagaimana kira-kira perasaan
Maria ketika bertemu Yesus di bait Allah namun disambut dengan kata-kata Yesus
berikut: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada
di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49) Menurut rasa kemanusiaan kita, kita mengira
Maria sedih. Namun, yang tahu persis adalah Maria sendiri yang sudah sangat
terlatih menyimpan segala perkara dalam hatinya.
Namun, bukan perasaan Maria yang akan kita lihat, melainkan
kata-kata yang dilontarkan Yesus tadi. Saya menangkap bahwa Yesus sedang
menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Jati diri itu harus diperlihatkan
sebagai bentuk pilihan hidup dan tugas perutusan-Nya. Dengan jati diri yang
jelas, baik cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak pun akan mengikuti
sesuai dengan pilihan jati diri itu.
Dengan mengatakan itu, bisa jadi orang-orang di sekitar-Nya tidak siap dengan jati diri baru itu. Mereka
lebih menyukai kemapanan (status quo) yang selama ini mereka hidupi dan
manjakan. Tentu kata-kata Yesus itu akan memunculkan keterkejutan karena Anak
yang berusia 12 tahun yang semestinya tinggal bersama orang tua-Nya, tiba-tiba mengatakan “Mengapa kamu mencari Aku?
Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”
Bagi orang tua yang tak siap, tentu akan memunculkan
kekecewaaan. Bahkan bagi masyarakat yang sudah termapankan dengan pemahaman
bahwa anak mesti menghormati orang tua seperti yang diwajibkan dalam perintah
ke-4 dalam Sepuluh Perintah Allah. Ia dianggap tak mempunyai rasa hormat
pada orang tua.
Demikian juga dengan orang yang menunjukkan jati diri. Bisa jadi dia (mereka) pun akan mendapatkan
sikap yang kurang enak. Tatapan aneh bahkan nyinyir yang dibarengi kebencian
menelanjangi tubuhnya. Predikat sebagai pemberontak kemapanan dijatuhkan
padanya. Orang yang tak menghormati tradisi menjadi julukan baru baginya. Dan
yang paling menakutkan adalah penolakan yang disertai dengan tindakan kekerasan
untuk melenyapkannya bisa menjadi risiko yang bakal dihadapi.
Memunculkan jati diri membawa konsekuensi tertentu. Bahkan
keberanian dan pertaruhan kemapanan menjadi risiko yang harus ditanggung. Perlu
nyali yang kuat untuk menunjukkan jati diri. Memproklamasikan jati diri hidup
yang dipilih membutuhkan keberanian yang diikuti dengan risiko tertentu.
Karena membutuhkan keberanian dan harus siap menghadapi
risiko tertentu itulah, banyak orang tak berani menunjukkan jati diri yang
sebenarnya. Apalagi jati diri seseorang yang mengarah pada keutamaan tertentu,
itu yang paling dihindari. Terlebih lagi ketika banyak arus yang menentangnya.
Menunjukkan jati diri dengan membawa keutamaan tertentu bak
memasukkan diri dalam ruang keterasingan, bagaikan ustad di kampung maling. Satu orang benar di dalam
lingkungan yang dipenuhi orang salah. Mirip dengan satu orang waras di
tengah-tengah orang gila. Pada perkembangan selanjutnya, satu orang waras di
tengah orang gila dibalik menjadi satu orang gila di tengah-tengah orang waras
untuk menggambarkan betapa masifnya kebobrokan yang terjadi di suatu komunitas
tertentu.
Karena begitu mengerikannya, banyak orang yang tak berani
menunjukkan identitas. Mereka hidup di ruang abu-abu. Ini dipilih untuk mencari
aman. Sewaktu-waktu di daerah hitam, pada waktu yang lain di daerah putih,
tergantung mana yang menguntungkan. Orang-orang yang demikian adalah orang yang
tak berani memunculkan jati diri, cenderung oportunis dan pragmatis. Mereka
selalu mengambil posisi yang menguntungkan kedudukan dirinya. Tak pernah berani
mereka menentang arus dan menyongsong risiko.
Perlu kesetiaan yang militan untuk menghidupi jati diri meski harus meninggalkan segala kemapanan.
St Fransiskus Asisi pada suatu ketika menyatakan bahwa dirinya meninggalkan dan
menyerahkan harta benda ayahnya, Pietro Bernadone yang gila harta itu, termasuk
pakaian yang melekat di badannya. Ia pun menelanjangi tubuhnya. “Dengarkanlah
saya, siapa saja! Sampai sekarang, saya memanggil Pietro Bernardone bapa saya.
Tetapi sekarang, karena saya bermaksud melayani Allah, saya tidak hanya
mengembalikan uangnya, tetapi semua pakaian yang saya terima darinya! Mulai
saat ini, saya dapat berjalan dengan telanjang di hadapan Tuhan dan tidak lagi
berkata, ‘bapa saya Pietro Bernardone,’ tetapi Bapa kami yang ada di surga!”
Dan dengan demikian, dia telah
kehilangan kekayaan, fasilitas dan lain-lainnya dari orang tuanya. Itu adalah
risiko yang ditanggungnya dengan suka cita.
Mother Teresa untuk melayani yang miskin di antara yang
termiskin pun harus meninggalkan kemapanannya, ia meninggalkan biara untuk
kemudian melayani orang-orang miskin dan sekarat di lorong-lorong kota Kalkuta
yang kumuh.
Uskup Oscar Romero begitu menyatakan diri membela rakyat El
Salvador pun harus menyambut peluru dan mati pada saat konsekrasi.
Risiko memunculkan jati diri adalah meninggalkan kemapanan
dan menerima upah risiko.
إرسال تعليق for "Risiko Jati Diri"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق