Hari masih terlalu pagi kala itu. Tepat seminggu sebelum Natal, seorang laki-laki tua berjalan menuju gereja yang megah. Dia berjalan dengan langkah yang diseret. Bunyi gesekan antara dasar sandal dan jalan aspal terdengar keras karena hari masih sepi. Belum banyak umat datang untuk mengikuti misa pagi. Lelaki itu berdiri terpekur di antara pilar gereja yang besarnya sama dengan tubuhnya. Dia menghadap ke arah dalam gereja. Dia memandang altar yang di belakangnya terpasang tabernakel. Tampak lampu abadi berwarna merah menyala. Tak jelas lelaki itu memandang altar, tabernakel atau lampu abadi. Yang jelas pandangannya jauh sekitar satu lemparan batu dari tempatnya berdiri.

Mulutnya berkomat-kamit merapalkan seuntaian doa. Tak jelas suaranya karena terlalu lirih. Bahkan kadang kalah dengan suara tetesan sisa-sisa embun semalam yang menjatuhi daun keladi di dekatnya. Ia berdiri dengan takzim. Matanya sesekali terpejam, badannya kadang terhuyung. Kakinya tampak sangat lemah. Dari beberapa penggal kosatanya, tampaknya dia berdoa Bapa Kami. Hal itu jelas terdengar pada kalimat “Berilah kami rejeki pada hari ini!”


Kalimat itu jelas bagian dari doa Bapa Kami. Namun, dari doa-doa yang diucapkan, lelaki itu menyebut kalimat itu dengan lebih keras daripada kalimat-kalimat yang lainnya. Dan kalimat itu kerap terdengar setiap beberapa waktu. Rupanya dia mendaraskan doa yang sama.

Umat pun mulai berdatangan untuk mengikuti misa pagi. Sementara itu lelaki itu masih berdiri di dekat pintu masuk di antara pilar gereja dengan posisi yang sama menghadap ke arah  altar. Kadang untuk beberapa saat pandangannya harus terganggu oleh punggung orang-orang yang berjalan di gang utama deretan bangku gereja. Kadang, pandangannya juga terganggu oleh bentuk tubuh perempuan berpakaian minim yang melekat ketat di tubuhnya sehingga tampak kulit di beberapa bagian tubuhnya yang berwarna putih itu.

Namun, lelaki itu tak bergeming. Ia tetap berdoa. Bahkan di sela-sela doanya, ada umat yang mengulurkan selembar uang seribu rupiah kepadanya karena menyangka bapak itu adalah pengemis. Memang dari penampilannya, ia seperti pengemis. Ia tak menoleh sedikit pun ke uang itu. Pandangannya lurus ke arah altar. Seorang perempuan setengah baya dengan kalung yang berkelip dipadu dengan tatanan rambut yang modis pun melontarkan komentarnya, ”Pengemis kok gengsi!” Perempuan itu pun menuju ke dalam gereja setelah sebelumnya mengunci mobilnya dengan remote yang dipegang di tangannya. Sejenak terdengar suara alarm mobil tanda mobil sudah terkunci otomatis.

Gereja sudah hampir penuh. Tiga menit lagi, misa pagi dimulai. Namun, lelaki itu tak kunjung masuk gereja. Ia masih sibuk dengan doa Bapa Kami yang diulang-ulang dengan suara yang lebih keras pada bagian “Berilah kami rejeki pada hari ini!”

Tiba-tiba lonceng pun terdengar. Lelaki itu masuk gereja duduk di bangku paling belakang dekat jendela kaca. Matanya tampak basah seperti hendak menangis. Ia pun mengikuti ritus misa pagi itu dengan khusuk. Namun, sesekali air matanya menetes dan mengalir di pipinya yang mulai keriput. Kadang karena tak kuat menahannya, terdengar isak tangis. Orang-orang dalam gereja yang duduk di depannya menoleh ke belakang mencari tahu sumber suara isak tangis itu.

Namun, misa terus berlangsung dengan lancar. Hanya sesekali terdengar suara-suara di antara umat yang menggunjingkan lelaki tua yang sedang duduk di bangku belakang. Tersirat pada wajah mereka perasaan jijik ketika memandang lelaki tua itu. Wajahnya yang tidak menarik ditambah dengan keriput di wajahnya. Kumisnya yang mulai memutih di tambah dengan rambutnya yang dominan uban itu membuat orang-orang di sekelilingnya kehilangan nafsu untuk memandangnya. Terlebih ditambah dengan bau tanah, orang-orang di sekelilingnya hanya bisa menghindarinya.

Misa selesai. Orang-orang pun mulai membubarkan diri, ke luar gereja melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.  Mereka menghindari jalan di dekat lelaki tua itu. Sambil memutar mencari jalan lain, mereka memandang  dengan jijik bahkan takut pada lelaki tua itu.

Sementara itu, mulut lelaki tua itu berkomat-kamit mendaraskan doa Bapa Kami seperti yang sebelumnya ia daraskan di depan gereja. Sesekali matanya terpejam. Persis ketika berdoa di depan gereja, pada saat mengucapkan “Berilah kami rejeki pada hari ini!”, dia mengucapkannya dengan lebih keras. Orang-orang pun menoleh ke arahnya. Mereka saling melempar komentar. “Orang sinting berdoa di gereja!” Yang lain menimpali, ”Pengemis minta uang di gereja!”

Lelaki itu tenggelam dalam doanya yang khusuk. Matanya terpejam. Namun beberapa saat kemudian, sungai kecil berair bening kembali mengalir dari balik kelopak matanya yang keriput dan kecoklatan. Sekarang, dia berdoa dengan duduk bersimpuh di lantai. Tidak duduk di kursi gereja yang berbahan kayu jati mengkilap kecoklatan itu. Kakinya ditekuk dengan posisi sila. Kembali doa Bapa Kami dikumandangkannya.

Lelaki tua itu pun terdiam. Doa Bapa Kami tak lagi dia ucapkan. Dengan duduk bersila, ia masih memejamkan matanya. Sementara orang-orang yang melihatnya memasang muka tidak begitu suka dengan ulah laki-laki tua itu. Mereka memandangnya dengan jijik. Setelah berhasil memandang lelaki tua itu, mereka pun membuang muka, tanda pasang muka jijik pada lelaki tua itu.

Sementara itu, lelaki tua itu masih terdiam. Air matanya masih mengalir. Makin lama, ia makin sesenggukan menahan rasa sedih luar biasa. “Cucuku, cucuku...maafkan Kakek ya!” isaknya. Ia menyebut-nyebut cucunya. Ia teringat cucunya yang telah meninggal karena sakit lima tahun silam. Cucunya yang berumur enam tahun itu tiba-tiba harus kehilangan kedua orangtuanya karena kecelakaan lalu lintas ketika hendak mengurusi kepanitaan Natal di gereja. Lima tahun silam, kejadian itu masih terekam dengan baik di memori lelaki tua itu. Sejak kecelakaan itu, anak berumur lima tahun itu diasuh lelaki tua itu. Ia menjadi kakek yang mengasuh cucunya.

Teringat akan masa lalunya, lelaki tua itu terisak dengan suara makin keras. Melihat kondisi itu, pastor gereja yang megah itu pun mendekatinya. “Ada apa, Pak? Mengapa Anda menangis?” tanya Pastor. “Saya sedih, Pastor!” jawabnya.

Ia pun bercerita tentang anak dan menantunya yang mati kecelakaan. Sementara itu, ia pun  membesarkan cucu yang lahir dari anak dan menantunya yang sudah mati itu.

“Sudahlah maafkan, peristiwa itu,” kata Pastor.

“Bagaimana mungkin, aku memaafkan peristiwa itu karena di dalamnya ada pilu. Andaikan dia membayar upahku dengan tepat waktu, anakku dan menantuku tak akan mati. Ia tidak hanya menunda upahku, tapi juga mengurangi upahku. Aku tahu persis pada saat anakku dan menantukku masuk rumah sakit, aku membutuhkan uang itu, namun, bosku tak segera memberikan uang itu katanya untuk menyumbang pembangunan gereja ini, menyumbang lantai marmer ini, sehingga karyawan yang lain pun bernasib sama denganku. Mereka tak dibayar dengan tepat waktu bahkan kalaupun dibayar tepat waktu upah itu pun sebenarnya terlalu sedikit. Tapi apa daya, kami hanya orang kecil. Sementara itu, anakku dan menantukku butuh pengobatan. Mereka harus dioperasi. Karena tak ada biaya, maka operasi tidak dilakukan, akibatnya mereka mati. Cucuku pun demikian, ia harus mati karena penyakit yang aku tak tahu. Dan masalahnya sama, bosku tidak mau memberi upahku tepat waktu katanya untuk membantu panti asuhan sehingga upahku ditahan meski aku sangat membutuhkan uang itu untuk pengobatan cucuku.”

Suasana sepi kecuali isak tangis lelaki tua itu.

“Maka, hari ini aku sebenarnya datang ke sini untuk melihat lantai marmer ini yang disumbang dengan nyawa anakku dan menantuku. Melihat lantai marmer ini, aku seperti melihat anak dan menantuku. Mereka tersenyum padaku. Mereka memberikan dirinya untuk gereja ini. Engkaulah donatur itu, anak dan menantuku.”

“Di atas tubuhmulah, orang-orang berdoa,” teriknya keras, sekeras guntur menggelegar. Setelah itu, lelaki itu pun diam. Tak ada gerakan sedikit pun dari tubuhnya. Ia pun seolah mendengar celoteh cucunya yang baru saja mati beberapa waktu lalu menyusul orangtuanya.










Post a Comment

Kesan/Pesan