Menjelang hari raya keagamaan entah Natal, Idul Fitri, Waisak dan lainnya, biasanya para penganut agama di samping mempersiapkan kewajiban ritualnya, mereka juga mempersiapkan kegiatan sosial. Meskipun kadang kegiatan sosial seperti membantu fakir miskin, bakti sosial, memberi sedekah dan sejenisnya jarang dilakukan pada hari-hari biasanya, namun jelang hari raya keagamaan para penganut agama mempersiapkannya dengan sedemikian rupa. Seolah ada perbedaan kualitas berbuat baik kalau dilaksanakan dalam rangka merayakan hari raya. Jika perbuatan baik dilakukan pada hari raya seolah akan bernilai sangat tinggi. Sedangkan berbuat baik yang dilakukan di luar masa hari raya seakan hanya bernilai sedikit.
Maka tak heran, jika menjelang hari raya, panti-panti asuhan atau jompo dibanjiri bantuan sosial. Hari raya menjadi momen berbagi. Fakir miskin pun tak kalah mendapatkan rejeki. Anak-anak kecil mendapatkan sedekah dan bingkisan. Bahkan para pengemis sengaja mendekati tempat-tempat ibadah untuk meminta sedekah pada mereka yang merayakan hari raya. Yang biasanya pelit menjadi dermawan.
Yang merayakan hari raya menganggap hari raya adalah waktu yang tepat untuk memberi sebagian (kecil) rejekinya. Sedangkan para fakir miskin berpikir ala pelaku bisnis, hari itu adalah waktu yang paling tepat untuk mengais rejeki. Maka, tak heran jika di tempat-tempat ibadah pada hari raya pasti berjubel orang-orang meminta sedekah.
Ada simbiosis mutualisme antara pemberi sedekah dengan peminta sedekah. Yang memberi merasa seolah sudah berbuat baik sehingga perayaan agamanya menjadi semakin lengkap. Sedangkan si penerima sedekah menjadi sarana berbuat baik bagi si pemberi sedekah dengan menerima sedekah yang berlimpah.
Mengapa harus menunggu hari raya keagamaan? Itu adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Pikiran kita memang biasanya sangat mudah didikte oleh even tertentu, termasuk hari raya. Padahal orang membutuhkan bantuan tidak hanya pada hari raya. Ketika banyak orang berbondong memberikan bantuan pada saat hari raya, selebihnya ke mana mereka ketika hari raya usai? Padahal rasa lapar, kekurangan dan penderitaan yang menjangkiti orang miskin juga tetap terjadi di luar hari raya.
Ahmad Tohari melalui cerita pendeknya “Wangon-Jatilawang” dalam kumpulan cerita pendek “Senyum Karyamin” yang diterbitkan pada tahun 2005 pun memotret kecenderungan bahwa orang berbuat baik menunggu pada even-even yang dianggapnya tepat, hari raya misalnya. Diceritakan dalam cerpen itu tokoh Aku. Tokoh Aku sekian lama bersahabat dengan Si Sulam yang adalah orang gila. Si Sulam tiap pagi setiap harinya berjalan kaki dari pasar Wangon ke pasar Jatilawang, daerah di wilayah Banyumas. Sore hari, ia kembali dari pasar Jatilawang menuju pasar Wangon. Di antara perjalanan dua kota itu, Si Sulam selalu singgah di rumah tokoh Aku. Beberapa hari sebelum hari raya lebaran, tokoh Aku menjanjikan Si Sulam sepotong baju baru. Namun, karena Si Sulam adalah orang gila, ia takut kalau baju itu akan kotor sebelum lebaran tiba. Maka, tokoh Aku menunda akan memberikan baju baru itu sampai lebaran tiba. Namun, sayangnya, ketika lebaran tiba, Si Sulam tewas tergilas truk, sehingga tokoh Aku gagal memberikan baju baru itu. Si Sulam pun tak pernah menerima baju itu. Tokoh Aku menyesal tak terkira.
Misi kebaikan tokoh Aku gagal karena ia menunda perbuatan baiknya hanya pada even hari raya. Masyarakat juga sering berbuat sesuatu dengan mendasar pada even hari raya, termasuk berbuat baik. Padahal Si Sulam dan manusia yang senasib dengannya mengalami penderitaan bukan pada hari saya saja.
Si Sulam yang gila pasti bajunya sudah terlalu kotor karena sering dipakai tiap hari bolak-balik Wangon-Jatilawang. Sebenarnya, beberapa hari ketika tokoh Aku mengatakan niatnya akan memberikan baju itu adalah waktu yang sudah tepat. Namun, karena hari raya dianggap sebagai momen yang baik, di mana baju harus bersih, maka ia menunda memberikan baju pada Si Sulam supaya tidak kotor sebelum itu. Padahal, sejak hal itu dikatakan Si Sulam sebenarnya sudah membutuhkan baju untuk ganti dan layak untuk ganti baju tanpa harus menunggu lebaran.
Setiap hari, orang-orang miskin begitu mudah ditemukan meskipun kata data pemerintah, angka kemiskinan menurun. Namun, lihatlah kalau ada pembagian BLT atau raskin banyak orang berlomba-lomba menjadi miskin. Tidak hanya miskin harta namun miskin harga dirinya.
Jelang hari raya apapun, penganut agama baik artis, warga gereja atau orang biasa berusaha tampil untuk memberikan bantuan. Tayangan televisi di ruang keluarga kita pun memberikan contoh itu. Kelompok-kelompok, tokoh-tokoh baik artis maupun orang biasa bersliweran di panti-panti asuhan membawa paket-paket sumbangan. Sekali lagi televisi mencitrakan hari raya menjadi momen yang pas untuk berbuat baik. Di luar itu, biasa saja.
Saat ini banyak Sulam lain yang keduluan mati sebelum kita berbuat baik pada mereka. Sebenarnya kita bisa berbuat baik pada mereka, namun, kita menundanya karena kita mengandalkan even tertentu, misalnya hari raya. Padahal penderitaannya tidak bisa menunggu hari raya tiba. Ada pacuan antara perbuatan baik dan penderitaan. Tokoh Aku tadi kalah. Dia kalah dengan penderitaan. Jika cara berpikir dan bertindak ini masih menjangkiti kita, maka sekali lagi, akan ada kekalahan kedua. Kebaikan kalah cepat. Penderitaan orang-orang miskin yang menjadi pemenangnya. Sementara, kita hidup dalam penyesalan karena kita sebenarnya bisa tapi tidak segera melakukannya. Kebaikan dan penderitaan itu masih berpacu!
إرسال تعليق for "Pacuan"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق