Hidup adalah pilihan. Kalimat itulah yang sering diucapkan orang-orang di sekitar kita. Saya tidak tahu yang membuat mereka mengatakan itu. Latah? Bisa jadi. Atau memang kalimat itu menjadi kalimat yang hidup dalam dirinya. Dalam pikiran, perasaan, dan tindakannya, kalimat hidup adalah pilihan menjadi aras penentu hidup.

Hemat saya, kalimat itu adalah yang paling tepat untuk saya. Hidup adalah pilihan. Memang ada yang tertakdirkan (given) dari sononya. Saya tidak bisa menjadi orang Tionghoa yang berkulit putih. Saya dilahirkan sebagai orang Jawa.Itu tidak bisa ditolak.

Namun, ada beberapa hal yang bisa dilakukan yang menunjukkan bahwa hidup adalah pilihan. Sejak bangun pagi sebenarnya kita sudah diberi pilihan dan kita telah memilihnya entah sadar entah tidak. Begitu bangun tidur, kita disodori pilihan mandi atau tidak. Berolahrga atau tidak. Berangkat kerja atau tidak. Kuliah atau tidak. Kita memilih salah satu. 

Bahkan saya pun saat ini bisa saja memilih berhenti untuk mengetik di blog ini. Namun, saya ingin menyelesaikan tulisan sederhana ini.

Pilihan menentukan sejarah hidup manusia. Saya sadar, saya yang adalah orang Bumiayu mengalami penyejarahan hidup di kota Lunpia Semarang akibat pilihan saya. Bisa saja pada waktu itu, saya memilih lain. Karena itu pilihan saya, maka saya pun harus meneruskannya entah seperti apa sejarah hidup saya.

Meski hidup adalah pilihan namun kita sebenarnya sedang memasuki perjudian yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar kita. Seorang yang memilih menjadi marketer sebuah produk akan berhadapan dengan kondisi tidak menentu dari pesaing, kondisi perekonomian konsumen, kondisi keamanan, kondisi politik negeri dan lainnya.

Namun, yang lebih penting adalah pilihan dari dalam dirinya. Apakah dia mau berkreasi dalam pekerjaan sebagai marketer atau tidak. Sisanya bukan tugasnya.

Termasuk kebahagiaan dan penderitaan pun bisa menjadi pilihan. Ada orang yang memilih berkubang dalam penderitaannya saja. Ia tidak mau memilih untuk bahagia. Padahal perasaan bahagia dan derita ada di dalam hatinya. Artinya, dialah yang punya kuasa untuk membuat dirinya bahagia atau menderita. Penderitaan dan kebahagiaan tidak ditentukan oleh lingkungannya. Penderitaan dan kebahagiaan adalah pilihannya. 

Maka, selagi masih bisa memilih, pilihlah. Jangan biarkan kita menjadi pilihan. Tapi jadikan kita sebagai orang yang bisa memilih dengan merdeka.

Post a Comment

Kesan/Pesan