Mengampuni

Pukul setengah dua pagi, terdengar suara keributan. Curiga karena dirasa itu adalah pencuri, ayah mengambil senapan di kamarnya. Ia mengisi peluru berukuran 4,5 mm ke senapan. Sebentar kemudian, dia mengokang benda itu. Ia menduga kalau pencuri itu di belakang rumah yang sebenarnya telah dikelilingi pagar tembok. Berarti orang itu meloncati pagar rumah kami. Dari balik celah jendela, ia pun mengintip untuk memastikan kebenaran dugannya, ada pencurid di belakang rumah. Benar, ia mendapati seseorang sedang memanjat tembok pagar ke luar.  Orang itu rupanya menenteng sangkar burung. Ia mencuri burung. Ayah pun membidik kaki pencuri itu dan siap menembakkan peluru dari senapan BSA produksi Inggris itu.


Namun dalam beberapa detik, ia mengurungkan niat itu. Saya heran dengan keputusan itu. “Kasihan!” katanya. Ia mengatakan bisa saja tindakan tersebut melukai orang itu. Meski pencuri, tidak perlu disakiti sedemikian rupa. Ia mengasihani pencuri. Padahal, ayah paling geram kalau binatang peliharaannya diganggu apalagi dicuri. Ia tidak konsisten dengan geraman dan kemarahan sebelumnya. “Jika ada yang berani mencuri peliharaanku. Aku mau tembak dia biar tahu rasa!” katanya.

Waktu saya mendengar hal itu, timbul rasa ngeri dalam diriku. Betapa galaknya ayah. Tidak hanya galak, namun kata-kata itu terkesan kejam pada orang yang telah melakukan kesalahan padanya. Tidak bisa main-main dengan ayah, pikirku. Hal yang sama juga terpikir olehku ketika, ia mendapati pencuri yang mengambil peliharaannya. Namun, saya heran, ia yang dalam posisi sangat mungkin untuk menembak maling itu dengan senapan malah justru mengurungkan niat itu. Sungguh aneh! Berarti dia tidak menggenapi kata-kata yang pernah diucapkannya. “Jika ada yang berani mencuri peliharaanku. Aku mau tembak dia biar tahu rasa!”

Pencuri itu keburu kabur. Namun, kami sempat mengecek barang-barang yang hilang selain burung. Ternyata beberapa pakaian yang sore tadi dicuci ternyata telah raib.

Kasihan. Ayah kasihan pada orang yang telah melakukan kesalahan padanya yang mencuri burung peliharaannya. Padalah ayah adalah penggemar burung. Tentu kita bisa merasakan dan menduga jika sesuatu yang menjadi kegemarannya diganggu, tentu orang itu dengan berani akan mempertahankannya dengan berbagai cara. Pun kekerasan jika perlu akan menjadi pilihan.

Selang beberapa saat, karena saya masih ragu dengan keputusan ayah, saya pun menghampirinya untuk meyakinkan pikiranku alasan ayah tidak menembak orang itu. Ia sekali lagi menjawab kasihan. Rupanya benar! Ia memang kasihan dan mengampuni orang itu sejak orang itu berbuat kesalahan. Lalu, saya pun mengajaknya mencari pencuri itu. Aku berpikir kalau pencuri akan membagi-bagi jarahannya. Sebab, ayah sebelumnya sempat cerita kalau pencuri itu lebih dari satu orang.

Dalam keheningan udara dini hari, kami menembus kegelapan yang mulai ditimpa titik-titik embun. Kami sempat berpencar untuk mencari keberadaan maling itu. Beberapa saat kemudian di sebelah timur kampung kami, saya mendengar ada beberapa orang yang terlibat pembicaraan. Kemudian, saya menghampiri mereka. Rupanya ayah sudah di sana sedang menghadapi dua orang yang diduga maling itu. Ternyata mereka tetangga kami. Namun, kedua orang itu tidak mau mengaku kalau mereka telah mencuri burung dan pakaian di rumah kami. Burung yang dicurinya pun tidak ada pada mereka. Mungkin telah disembunyikan.

Namun yang tak bisa mereka ingkari adalah mereka memakai salah satu pakaian kami yang sore tadi baru dijemur. Mereka tidak bisa mengelak. Namun, lagi-lagi, ayah memasang sikap lunak supaya perbuatan mereka jangan diulangi lagi. Ayah hanya mengambil jaket milik salah seorang itu untuk diserahkan pada orang tua mereka siang harinya dan mengatakan pada orangtuanya bahwa jaket anaknya tertinggal di rumah.

Kata-kata ayah tidak sekejam perbuatannya. Ia tidak pernah membicarakan tentang pengampunan dan mengajari hal itu pada kami anak-anaknya. Ia hanya memberi pengampunan pada malam itu di depanku. Rupanya ia telah mengajariku pengampunan.

Maka, benar kata ibu, kalau ayah itu tidak sekeras kata-katanya. Meski kadang kata-katanya keras dan mengerikan namun sebenarnya ia mempunyai tingkah laku yang lembut. Bahkan di kalangan keluarga besarnya, ia dikenal orang yang memiliki kesopanan yang tinggi.

Baginya, pengampunan tidak perlu diajarkan dengan kata-kata tetapi dengan tindakan. Dan, beberapa saat kemudian, kami pun sering bertemu dengan orang-orang yang mencuri itu. Kami tak pernah membahas itu. Mereka pun segan sendiri. Sempat tebersit malu di wajah mereka. Namun, kami tidak ingin mempermalukan mereka. Rasa malu itu sudah menghukumnya.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "Mengampuni"