Masyarakat memperjuangkan kejujuran lalu dilawan dengan ketidakjujuran oleh masyarakat itu sendiri. Ada dualisme dalam masyarakat.
Dualisme juga terjadi pada sebagian orang-orang yang beragama. Air sepanjang sejarah tidak bisa dipisahkan dalam ritual ibadah. Banyak agama memakai air sebagai sarana peribadatan mereka misalnya untuk penyucian, pembaptisan, atau wudhlu. Namun, mereka yang mengaku beragama pada saat berbeda melecehkan air itu yang merupakan sarana ibadah mereka. Kerap kita saksikan orang buang air besar maupun kecil di sungai, orang membuang sampah dan segala macam kotoran di saluran air.
Hal lain, pengerahan pasukan bersenjata dan kekerasan menjadi solusi bagi Negara-negara untuk menyelesaikan “konflik”. Pemimpin-pemimpin memakai kekerasan dalam upaya merengkuh yang mereka sebut perdamaian. Di desa pun tawur antardesa selalu mengandalkan kekerasan sebagai dalih pengamanan. Mereka menggenapi ungkapan Latin, “si vis pacem, para bellum” yang bermakna “jika kamu menghendaki perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang” yang sangat dualis. Sungguh ironis, perdamaian diupayakan dengan perang.
Bahkan sopir taksi, truk atau bus pun mengalami dualisme. Pernah menyaksikan seorang sopir yang mengencingi kendaraannya? Kadang dengan membuka pintu sedikit, mereka mengencingi ban mobilnya atau sisi badan mobilnya hanya untuk menyembunyikan organ vitalnya ketika buang air kecil. Padahal mobil itu adalah alat untuk mencari rejekinya yang mestinya dirawat, terlebih lagi dihargai karena hidupnya tergantung pada mobil itu.
Sering juga kita mendengar orang-orang beropini entah melalui obrolan di warung kopi atau dalam proses transaksi di pasar sayur. Mereka membincangkan tokoh tertentu atau partai X terlibat korupsi. Namun, ketika membincang korupsi, timbangan mereka telah dikorupsi olehnya hanya untuk mencuri keuntungan dari pembeli. Koruptor ngomong korupsi.
Dalam pertemuan diskusi tentang korupsi yang katanya segenap masyarakat akan melawan korupsi dengan sangat keras namun diskusi berjalan molor, narasumber dan peserta datang terlambat. Lagi-lagi korupsi dilawan dengan korupsi.
Sebenarnya dualisme inilah yang membuat kita tidak konsisten dalam memperjuangkan sesuatu. Kerap kita mendengar agama adalah pembawa perdamaian. Namun, di tempat-tempat tertentu ada orang diusir dari tempat tinggalnya bahkan ada yang dibantai atas nama agama.
Manusia hidup dalam tarik-menarik antarkutub yang ekstrim. Manusia pada suatu waktu berkata ya, namun melalui organ yang sama yaitu mulutnya manusia pada saat berbeda berkata tidak untuk menyikapi satu permasalahan yang sama. Dengan tubuh dan organ di dalamnya, kita mengatakan dua perkataan, dua pikiran, maupun dua keinginan yang berlawanan.
Dalam tarik menarik itu bukankah kita tidak bisa melangkah ke mana-mana. Karena kita bagaikan sebuah obyek yang ditarik oleh dua kutub berlawanan dan sama-sama kuat. Apakah ini yang disebut perseteruan abadi? Tidak hanya di dunia, terang melawan kegelapan, cinta melawan kebencian, putih melawan hitam, namun di dalam diri manusia, tidak jauh, di dalam hati, pikiran dan tindakannya pun telah terjadi perseteruan itu.
Santo Fransiskus dari Assisi menyadari perseteruan itu dalam doa “Jadikanlah Aku Pembawa Damai”. Ia menghadirkan dua kutub yang selalu berkelindan dalam doanya. Rupanya pertarungan antarkutub itu melelahkan sehingga, ia memasrahkan dirinya sebagai alat/instrumen bagi Tuhan yang hanya bisa bergerak atau berfungsi jika Tuhan menghendakinya.
Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu, bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
jadikanlah aku pembawa cinta kasih. Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan. Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan. Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian. Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran. Bila terjadi kecemasan, jadikanlah aku pembawa harapan. Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sumber kegembiraan. Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Ada perbedaan menarik antara doa itu dengan dualisme masyarakat. Dalam doa itu, jelas Fransiskus mendasarkan diri bahwa dia memosisikan dirinya hanya sekadar alat Tuhan maka, ia selalu mengikuti gerakan batinnya yang selalu terhubung dengan Tuhan. Apapun yang terjadi, dia yang sekadar “alat” Tuhan, difungsikan untuk mengerjakan karya agung Tuhan yakni cinta kasih, pengampunan, kerukunan, kepastian, kebenaran, harapan, kegembiraan, dan terang. Santo Paulus mengatakannya dalam buah Roh yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22-23).
Berbeda dengan masyarakat yang dualis. Mereka menjadikan dirinya sebagai subyek mutlak penghakiman sehingga dengan kemarahan mereka mengecam yang tidak disukainya namun dengan gembira mengamini yang tidak disukainya karena menguntungkannya. Dan mereka pun dengan sendirinya dihakimi oleh penghakimannya.
Posting Komentar untuk "Dualisme"
Kesan/Pesan
Posting Komentar