Peziarahan Sang Pastor

Perempuan itu bersimpuh merendahkan diri. Wajahnya sama rendah dengan kaki gagah di depannya. Dengan rambutnya, ia mengusapi kaki di depannya. Adegan itu sebenarnya terekam dalam Injil yang diimani orang kristiani. Dua tokoh itu adalah Maria Magdalena dan Yesus. Awalnya Maria Magdalena adalah seorang pelacur. Setelah tertangkap basah oleh penduduk ketika sedang berbuat mesum, Yesus mencegah eksekusi mati padanya yang akan diberi hukuman rajam. Dengan suaranya yang penuh sindiran Yesus berkata kepada sekerumunan massa yang akan menghukum Maria Magdalena,”Barangsiapa yang tidak berdosa hendaklah ia melempar batu terlebih dahulu kepada wanita itu!” Namun tak seorang pun berani melempar batu ke perempuan cantik itu. Lalu Yesus pun mengampuni perempuan itu. Perempuan itu mensyukuri rahmat pengampunan itu dengan menjadi pengikutnya yang setia. Bahkan kesetiannya menjadi kontroversial dalam cerita novel dan telah difilmkan dengan sangat memesona dengan judul The Da Vinci Code.

Sebagai seorang pastor Jesuit yang taat, Pastor Danang Bramasti, SJ melukiskan peristiwa syukur yang terekam dalam kisah Injil yang romatis yaitu ketika Maria Magdalena memolesi kaki Sang Guru dengan minyak narwastu yang harum. Tak segan ia mengusap lelehan minyak yang melekat di kaki Sang Guru dengan rambutnya yang selama ini telah mencuri hati para lelaki hidung belang. Rekaman kisah itu dilukis dalam media kanvas dengan menggunakan cat minyak. In Memory of Her adalah salah satu judul lukisan dari beberapa lukisan lainnya. Dari torehan kuas itu, Pastor Danang Bramasti, SJ rupanya mau menyampaikan kerendahah hati seorang pendosa, Maria Magdalena. Ini menjadi penyadaran semua manusia bahwa tidak ada manusia yang sempurna, namun manusia dipanggil untuk menjadi sempurna dengan bersimpuh di kaki-Nya, meneladan hidup kebenaran.

Salah satu obyek yang dia torehkan dalam beberapa kanvas mencoba menangkap tas berwarna biru. Tas itu rupanya tas yang selalu ia pakai kemanapun ia pergi diutus. Tas sangat identik dengan sebuah perjalanan. Maka tak salah jika obyek tas menjadi salah satu penjelasan tema pameran lukisannya yang diberi judul besar Perziarahan. Pameran diselenggarakan di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280 Semarang sejak tanggal 7-21 Agustus 2009.

Pada umumnya tas digunakan untuk menyimpan barang-barang selama si pemilik itu melangsungkan perjalanan yang cukup jauh. Setidaknya hal itu juga terlihat pada iring-iringan pemudik pada hari Lebaran. Mereka membawa tas yang sarat muatan yang akan diberikan kepada kerabat atau orang-orang tercinta. Namun, di samping itu, pemudik juga membawa tas yang berisi perlengkapan pribadi sebagai persiapan di perjalanan.

Rupanya tas biru yang dilukis pada beberapa kanvasnya, mau menyiratkan bahwa setiap manusia sebenarnya mempunyai “tas-tas” kehidupan. Tinggal manusia mau atau tidak mengisinya dengan aneka persiapan dan mau membawanya kemanapun ia pergi melangkah. Konon, tas berwarna biru pun sering dipakai pastor yang berkarya di Gereja Bongsari Semarang itu. Artinya, sepanjang peziarahan hidupnya ia berusaha untuk selalu membawa perlengkapan atau persediaan selama perjalanannya. Di samping itu, dia juga membawa sesuatu yang dikemas dalam “tas birunya” yang akan diberikannya kepada orang-orang yang ditemuninya sepanjang peziarahannya.

Dalam lukisan yang berjudul “Berangkat”, Pastor Danang seolah mau menunjukkan bahwa perjalanan atau peziarahan selalu diawali dengan berangkat. Itu menjadi awal dari sebuah tujuan tertentu manusia. Tema ini diwakili dengan obyek seorang perempuan yang memanggul tas biru. Beberapa tas birunya dilukis bersama dengan seorang perempuan. Pada lukisan berjudul “Menanti”, Pastor Danang memvisualkan seorang perempuan berpakaian merah memeluk tas birunya.

Dalam Gereja Katolik Roma, ada seorang figur perempuan yang sangat dihormati yaitu Bunda Maria, ibu Yesus. Bisa jadi, dalam lukisan “Berangkat” yang divisualkan dengan seorang perempuan memanggul tas biru adalah sesosok Bunda Maria. Pun demikian dengan lukisan ‘Menanti” yang menggambarkan seorang perempuan berpakaian merah memeluk tas biru. Dalam lukisan pertama, “perbekalan persediaannya” dalam menjalani pezirahan diangkat oleh Bunda Maria dan dipersembahkan kepadanya pula. Hal ini mengingatkan kita pada lagu “Tak Gendong” ciptaan almarhum Mbah Surip. Tak Gedong ciptaan Mbah Surip mengajarkan supaya kita saling tolong-menolong, gotong royong dan tidak mungkin manusia hidup sendiri. Hal serupa ini juga tersirat dalam lukisan tersebut. “Perbekalan hidup kita” digendong Bunda Maria.

Sedangkan lukisan seorang perempuan memeluk tas biru menunjukkan bahwa kita dan perbekalan hidup kita dinaungi oleh Bunda Maria. Judul “Penantian” pada lukisan ini juga seolah mau menunjukkan bahwa Bunda Maria menanti kita yang masih berjalan dan berziarah di dunia bagaikan seorang ibu yang menunggu anaknya pulang.

Sebagai seorang Jesuit, Pastor Danang selalu melakukan meditasi. Hal itu ia torehkan dalam lukisan bertajuk “Tunas Meditatif”. Lukisan ini menggambarkan sebuah tunas kelapa yang hidup dalam media tanah dalam pot kecil. Tunas kecil itu menghujam ke bawah tanah dengan kuat. Itu mengandaikan bahwa hidup memang harus menancap pada dasar yang kuat. Meditasi itu adalah sarana untuk kembali menancapkan kehidupan kita pada dasar kehidupan supaya kita tidak goyah ketika tertiup badai kehidupan. Dari tunas yang menancap kuat itulah energi kehidupan mengalir dari bawah ke atas memberi nutrisi kehidupan sehingga tunas itu bertumbuh dan mengeluarkan daun hijau yang segar.

Sedangkan menurut Tubagus P. Svarajati, seorang Danang Bramasti, SJ adalah orang yang menyukai hal-hal di tengah. Hal itu terlihat dari beberapa sketsa pemandangan gunung buah torehan tangannya. Ia meletakkan gunung-gunung itu di tengah. Hal itu terjadi karena ia adalah seorang pastor yang berada di tengah-tengah umat.

Lepas dari semua itu, seni termasuk seni lukis bagi Pastor Danang bisa berdampingan sangat mesra dengan panggilan-Nya sebagai seorang pastor. Hal itu terlihat pada “Antara Kanvas dan Jubahku”. Ini adalah pendamaian antara seni dengan religiositas. Maka tak heran, jika Pastor Danang melukis jubah putih yang dicantolkan di atas kanvas. Sementara itu di kanvas yang sama tergantung manik-manik rosario.

Dalam hal ini lukisan-lukisannya menjadi saksi dan sarana peziarahan hidupnya sebagai seorang pastor.
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

تعليق واحد for "Peziarahan Sang Pastor"

غير معرف 9 ديسمبر 2009 في 9:28 م حذف التعليق
sip