Ada orang yang mengaku beragama melakukan berbagai aktivitas atas nama agamanya. Tak jarang mereka sering muncul di tempat-tempat ibadah mereka. Berbagai kegiatan yang bersifat keagamaan mereka lakukan. Panitia-panitia keagamaan entah besar atau kecil tak pernah absen diikuti olehnya. Mereka mengikutinya seolah hampir seluruh waktunya dicurahkan dalam kegiatan itu. Mulai dari kegiatan yang kerohanian sampai kegiatan yang bersifat sosial macam bakti sosial atau donor darah selalu diikuti.
Tak ketinggalan pula, ada yang mengekspresikan rasa keagamaannya dalam bentuk aksesoris dan pakaian. Aneka bentuk kalung salib, jilbab, tasbih, pakaian khas, menghiasi tubuhnya. Bagi sebagian orang, melihat tindakan dan penampilan tersebut, orang akan menilai kalau itu semua menunjukkan kebaikkan dan kedalaman penghayatan agama orang tersebut. Namun penilaian jenis ini adalah penilaian yang hanya memandang dari aspek fisik/luaran (wadhag) saja.
Penampilan ini kadang menunjukkan kebenaran namun hal itu kadang juga menunjukkan ketidakbenaran. Kenyataan di luar kadang menunjukkan ketidakbenaran di dalamnya. Maka dari itu, segala tindak-tanduk dan penampilan hendaknya tidak ditelan mentah-mentah dan menjadi dasar penilaian atau standar kualitas kerohanian seseorang.
Maka jika negara ini akan memformalisasikan aturan agama sebagai ideologi negara, kita akan dihadapkan pada situasi yang berpotensi menciptakan kemunafikan. Mengapa? Karena banyak hal yang mengatur cara bertingkah laku, berpakaian dan bertindak orang-orang di negara ini sesuai agama namun tidak menjamin seseorang itu benar-benar menjadi orang baik. Jangan-jangan jika aturan berbasis agama ditentukan maka akan ada orang baik yang bisa saja diadili atau dihukum karena menurut penampilan tidak mencerminkan nilai-nilai agamanya meskipun ia sebenarnya sangat menghayati keagamaannya.
Kembali ke awal. Dengan melihat gejala-gejala di atas, ternyata orang-orang yang dikatakan beragama masih terjebak dalam wacana keagamaan yang bersifat luaran belaka. Padahal keagamaan tidak hanya menyangkut simbol dan pakaian serta tindak-tanduk yang bisa dilihat dari luar saja. Namun, keagamaan juga mencakup sisi batin seseorang. Dalam sisi inilah spiritualitas atau keimanan sejati seseorang dihayati.
Spiritualitas menjadi penting karena ia adalah roh seseorang dalam bertindak. Gejala-gejala di awal tulisan ini menunjukkan bahwa masih ada pemeluk agama yang melakukan aktivitas keagamaan dalam sisi luarnya saja. Atau, di luar terlihat beriman atau beragama namun dalam hatinya belum tentu. Kondisi ini terlihat dari banyak orang yang beramai-ramai bergabung dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan namun bersamaan dengan hal itu di antara mereka yang beraktivitas itu terlibat dalam segala bentuk konflik ataupun sikap-sikap tidak simpatik. Ini dapat kita temui dari beberapa orang yang beraktivitas dalam keagamaan (mengaku sebagai aktivis agama) namun tindakannya tidak mencerminkan sebagai orang yang beragama. Seringkali dalam satu wadah tempat ibadah, kita mendengar adanya konflik atau persaingan. Masing-masing komunitas tidak mau saling mendukung kegiatan keagamaan. Masing-masing komunitas ingin membuat komunitasnya paling unggul tanpa peduli dengan komunitas yang lain. Ini adalah ambisi yang sangat berbahaya dan tidak mencerminkan sikap seorang yang beragama.
Di sisi lain, ada juga orang yang mengaku aktivis keagamaan namun kehidupan keluarganya tidak karuan. Usut punya usut, kegiatan keagamaan yang dilakukannya hanya menjadi pelarian saja. Jadi yang dilakukannya tidak mencerminkan kesehariannya. Tindakan ini mengelabuhi orang-orang di sekitarnya. Ada juga yang menjadi pengurus keagamaan hanya untuk memegahkan diri dengan mencari nama baik. Padahal semua hal yang dilakukan itu seharusnya berasal dari semangat pelayanan dan bentuk cinta pada Tuhan. Namun semua itu berubah menjadi bentuk-bentuk pemuasan kebutuhan pribadi belaka. Ini menjadi bentuk aktivisme (terperangkap wadhag), atau asal aktif. Dengan kata lain, semua itu berhenti dalam kedagingan. Padahal, kegiatan yang berbentuk aktivisme itu kering akan spiritualitas. Maka tidak heran jika bentuk kegiatan meskipun bernafaskan keagamaan bisa terpeleset menjadi bentuk kesombongan, kecemburuan, ambisi maupun persaingan.
Aktivisme sebaiknya dihindari. Lebih lanjut bentuk-bentuk aktivitas harus diimbangi dengan spiritualitas karena dengan ini kita memiliki kompas atau arah dalam melakukan aktivitas keagamaan. Maka dari itu, penting untuk kita perhatikan bahwa orang yang aktif dalam kegiatan keagamaan sebaiknya jangan disebut sebagai aktivis keagamaan, aktivis gereja, aktivis masjid atau yang lainnya melainkan disebut sebagai pelayan keagamaan, pelayan gereja, atau pelayan masjid. Dengan demikian, mereka yang terlibat dalam kegiatan keagamaan tetap sadar bahwa dirinya bukanlah yang terpenting namun ia hanyalah pelayan yang mengejawantahkan keimanannya dalam bentuk tindakan nyata. Iman yang tidak hanya di batin dan di mulut namun juga dalam tindakan.
Tak ketinggalan pula, ada yang mengekspresikan rasa keagamaannya dalam bentuk aksesoris dan pakaian. Aneka bentuk kalung salib, jilbab, tasbih, pakaian khas, menghiasi tubuhnya. Bagi sebagian orang, melihat tindakan dan penampilan tersebut, orang akan menilai kalau itu semua menunjukkan kebaikkan dan kedalaman penghayatan agama orang tersebut. Namun penilaian jenis ini adalah penilaian yang hanya memandang dari aspek fisik/luaran (wadhag) saja.
Penampilan ini kadang menunjukkan kebenaran namun hal itu kadang juga menunjukkan ketidakbenaran. Kenyataan di luar kadang menunjukkan ketidakbenaran di dalamnya. Maka dari itu, segala tindak-tanduk dan penampilan hendaknya tidak ditelan mentah-mentah dan menjadi dasar penilaian atau standar kualitas kerohanian seseorang.
Maka jika negara ini akan memformalisasikan aturan agama sebagai ideologi negara, kita akan dihadapkan pada situasi yang berpotensi menciptakan kemunafikan. Mengapa? Karena banyak hal yang mengatur cara bertingkah laku, berpakaian dan bertindak orang-orang di negara ini sesuai agama namun tidak menjamin seseorang itu benar-benar menjadi orang baik. Jangan-jangan jika aturan berbasis agama ditentukan maka akan ada orang baik yang bisa saja diadili atau dihukum karena menurut penampilan tidak mencerminkan nilai-nilai agamanya meskipun ia sebenarnya sangat menghayati keagamaannya.
Kembali ke awal. Dengan melihat gejala-gejala di atas, ternyata orang-orang yang dikatakan beragama masih terjebak dalam wacana keagamaan yang bersifat luaran belaka. Padahal keagamaan tidak hanya menyangkut simbol dan pakaian serta tindak-tanduk yang bisa dilihat dari luar saja. Namun, keagamaan juga mencakup sisi batin seseorang. Dalam sisi inilah spiritualitas atau keimanan sejati seseorang dihayati.
Spiritualitas menjadi penting karena ia adalah roh seseorang dalam bertindak. Gejala-gejala di awal tulisan ini menunjukkan bahwa masih ada pemeluk agama yang melakukan aktivitas keagamaan dalam sisi luarnya saja. Atau, di luar terlihat beriman atau beragama namun dalam hatinya belum tentu. Kondisi ini terlihat dari banyak orang yang beramai-ramai bergabung dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan namun bersamaan dengan hal itu di antara mereka yang beraktivitas itu terlibat dalam segala bentuk konflik ataupun sikap-sikap tidak simpatik. Ini dapat kita temui dari beberapa orang yang beraktivitas dalam keagamaan (mengaku sebagai aktivis agama) namun tindakannya tidak mencerminkan sebagai orang yang beragama. Seringkali dalam satu wadah tempat ibadah, kita mendengar adanya konflik atau persaingan. Masing-masing komunitas tidak mau saling mendukung kegiatan keagamaan. Masing-masing komunitas ingin membuat komunitasnya paling unggul tanpa peduli dengan komunitas yang lain. Ini adalah ambisi yang sangat berbahaya dan tidak mencerminkan sikap seorang yang beragama.
Di sisi lain, ada juga orang yang mengaku aktivis keagamaan namun kehidupan keluarganya tidak karuan. Usut punya usut, kegiatan keagamaan yang dilakukannya hanya menjadi pelarian saja. Jadi yang dilakukannya tidak mencerminkan kesehariannya. Tindakan ini mengelabuhi orang-orang di sekitarnya. Ada juga yang menjadi pengurus keagamaan hanya untuk memegahkan diri dengan mencari nama baik. Padahal semua hal yang dilakukan itu seharusnya berasal dari semangat pelayanan dan bentuk cinta pada Tuhan. Namun semua itu berubah menjadi bentuk-bentuk pemuasan kebutuhan pribadi belaka. Ini menjadi bentuk aktivisme (terperangkap wadhag), atau asal aktif. Dengan kata lain, semua itu berhenti dalam kedagingan. Padahal, kegiatan yang berbentuk aktivisme itu kering akan spiritualitas. Maka tidak heran jika bentuk kegiatan meskipun bernafaskan keagamaan bisa terpeleset menjadi bentuk kesombongan, kecemburuan, ambisi maupun persaingan.
Aktivisme sebaiknya dihindari. Lebih lanjut bentuk-bentuk aktivitas harus diimbangi dengan spiritualitas karena dengan ini kita memiliki kompas atau arah dalam melakukan aktivitas keagamaan. Maka dari itu, penting untuk kita perhatikan bahwa orang yang aktif dalam kegiatan keagamaan sebaiknya jangan disebut sebagai aktivis keagamaan, aktivis gereja, aktivis masjid atau yang lainnya melainkan disebut sebagai pelayan keagamaan, pelayan gereja, atau pelayan masjid. Dengan demikian, mereka yang terlibat dalam kegiatan keagamaan tetap sadar bahwa dirinya bukanlah yang terpenting namun ia hanyalah pelayan yang mengejawantahkan keimanannya dalam bentuk tindakan nyata. Iman yang tidak hanya di batin dan di mulut namun juga dalam tindakan.
Posting Komentar untuk "Aktivisme"
Kesan/Pesan
Posting Komentar