Seringkali kita menyaksikan tayangan iklan di berbagai media televisi. Banyak iklan yang menawarkan pemirsa untuk menjadi cantik atau tampan dengan memakai produk-produk mereka. Lalu, banyak di antara kita yang “kepincut” (tertarik) untuk mencoba produk mereka. Tiba-tiba, kita pun merasa cantik atau tampan. Kita menjadi seperti Dian Sastrowardoyo atau Nicolas Saputra yang kata orang adalah cantik dan tampan.
Tidak cukup dengan hal itu, masyarakat kita pun masih terus mencari cara menambah kecantikan atau ketampanan. Hal itu rupanya bagaikan gayung bersambut antara produsen kosmetik dengan para konsumennya. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri. Manusia ingin tampil cantik atau tampan. Namun pertanyaannya, apakah model cantik dan tampan yang dikenalkan saat ini menjadi ciri kesejatian hidup? Kalau melihat gejala tersebut masyarakat saat ini rupanya tenggelam dalam nuansa fisik (wadag), bukan yang non fisik (spiritual). Sisi penampilan menjadi orientasi utama seperti cantik, tampan, harta benda melimpah, pangkat, maupun status. Sementara itu sisi spiritual seakan terlupakan. Padahal sisi ini menjadi roh atau nafas dalam tindakan sehari-hari.
Selanjutnya, mari kita lihat maraknya orang membangun tempat ibadah. Kalau kita pergi ke gereja atau masjid atau tempat ibadah yang lainnya, terkadang kita melihat ada orang yang mencari dana untuk membangun tempat ibadah. Bahkan ada yang mencari dana di jalan raya. Pembangunan tempat ibadah itu bisa berupa membangun tempat ibadah baru (menambah tempat ibadah) atau mengembangkan tempat ibadah lama menjadi bentuk, model dan ukuran yang baru. Biasanya kalau panitia pembangunan mengembangkan tempat ibadah, mereka akan membuat desain yang lebih besar dan lebih mewah dan biayanya sangat mahal.
Selanjutnya, mereka berusaha sungguh-sungguh untuk mencari dana dan membangunnya. Mereka menganggap bahwa membangun tempat ibadah adalah bentuk ibadah tersendiri. Maka segala daya upaya dipakai untuk mewujudkan tujuan tersebut. Namun yang ironis, terkadang ada pula yang turut “bermain” dalam proyek pembangunan tempat ibadah tersebut. Ada oknum yang turut mengambil keuntungan pribadi dalam proyek tersebut. Setelah sekian lama mereka membangun, akhirnya bangunan yang diimpikan sudah jadi. Bangunan yang kokoh, megah, indah dan mahal sudah siap. Itulah serba-serbi orang membangun tempat ibadah. Namun perlu kita kritisi, itu adalah pembangunan fisik (wadag) berupa gedung atau bangunan. Apa yang terjadi setelah tempat ibadah diperbanyak dan dibuat lebih megah? Korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup masih terus berlangsung. Bahkan ketiganya menjadi budaya tersendiri baik di kalangan atas maupun bawah.
Kalau melihat gejala ini kita seakan terlupa. Ekspresi keagamaan kita terreduksi hanya berorientasi pada pembangun fisik belaka. Kita lupa dengan pembangunan rohani dan kedalaman batin. Indonesia gencar dengan pembangunan namun lupa dengan pembangunan rohaninya. Ketika Indonesia disebut sebagai bangsa yang religius, kebudayaan masyarakatnya tidak mencerminkan religiusitasnya. Ini menjadi ironi tersendiri.
Banyaknya tempat ibadah yang diikuti dengan gejala tuna adab seperti korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup adalah suatu keprihatinan tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tempat ibadah di Indonesia ternyata tidak berkorelasi positif dengan keadaban masyarakat kita. Hal ini juga menjelaskan kita untuk mengganti paradigma supaya tidak berorientasi pada pembangunan fisik. Ada sementara orang yang mengatakan daripada membangun dan menambah tempat ibadah, lebih baik dana itu digunakan untuk membangun sekolah yang rusak atau membuat pendidikan gratis. Bukankah pendidikan juga merupakan salah satu sarana menanamkan keutamaan selain agama?
Terlepas dari perdebatan membangun tempat ibadah atau sekolah, kita melihat bahwa masalah yang krusial adalah menggalakkan pembangunan rohani atau religiositas. Baik sekolah maupun tempat ibadah bisa menjadi sarana untuk mengembangkan kerohanian atau religiositas. Jadi sebenarnya, tempat ibadah adalah sarana untuk menggapai kesejatian bukan tujuan. Mendalami hidup rohani tanpa tempat ibadah pun bisa. Hal ini terlihat di berbagai stasi yang sudah sekian puluh tahun belum mempunyai gereja. Spritualitas dan religiositas yang mendalam bisa ditemukan dan dipraktekkan jauh dari tempat ibadah, bahkan di pasar sekalipun. Namun sebaliknya, di tempat ibadah, bentuk-bentuk skandal dari yang kecil seperti mencuri sandal sampai yang besar korupsi dana umat pun bisa saja terjadi.
Jadi yang terpenting adalah membangun kerohanian terlebih dahulu. Sedangkan gedung tempat ibadah hanyalah sarana meningkatkan kerohanian. Bagi yang sudah terlanjur membangun tempat ibadah, silahkan menggunakan sarana fisik itu untuk memaksimalkan pembangunan rohani. Kita berharap dengan rohani yang terbangun, masyarakat yang berkeadaban akan tercipta di dunia ini.
Tidak cukup dengan hal itu, masyarakat kita pun masih terus mencari cara menambah kecantikan atau ketampanan. Hal itu rupanya bagaikan gayung bersambut antara produsen kosmetik dengan para konsumennya. Ini menjadi sebuah fenomena tersendiri. Manusia ingin tampil cantik atau tampan. Namun pertanyaannya, apakah model cantik dan tampan yang dikenalkan saat ini menjadi ciri kesejatian hidup? Kalau melihat gejala tersebut masyarakat saat ini rupanya tenggelam dalam nuansa fisik (wadag), bukan yang non fisik (spiritual). Sisi penampilan menjadi orientasi utama seperti cantik, tampan, harta benda melimpah, pangkat, maupun status. Sementara itu sisi spiritual seakan terlupakan. Padahal sisi ini menjadi roh atau nafas dalam tindakan sehari-hari.
Selanjutnya, mari kita lihat maraknya orang membangun tempat ibadah. Kalau kita pergi ke gereja atau masjid atau tempat ibadah yang lainnya, terkadang kita melihat ada orang yang mencari dana untuk membangun tempat ibadah. Bahkan ada yang mencari dana di jalan raya. Pembangunan tempat ibadah itu bisa berupa membangun tempat ibadah baru (menambah tempat ibadah) atau mengembangkan tempat ibadah lama menjadi bentuk, model dan ukuran yang baru. Biasanya kalau panitia pembangunan mengembangkan tempat ibadah, mereka akan membuat desain yang lebih besar dan lebih mewah dan biayanya sangat mahal.
Selanjutnya, mereka berusaha sungguh-sungguh untuk mencari dana dan membangunnya. Mereka menganggap bahwa membangun tempat ibadah adalah bentuk ibadah tersendiri. Maka segala daya upaya dipakai untuk mewujudkan tujuan tersebut. Namun yang ironis, terkadang ada pula yang turut “bermain” dalam proyek pembangunan tempat ibadah tersebut. Ada oknum yang turut mengambil keuntungan pribadi dalam proyek tersebut. Setelah sekian lama mereka membangun, akhirnya bangunan yang diimpikan sudah jadi. Bangunan yang kokoh, megah, indah dan mahal sudah siap. Itulah serba-serbi orang membangun tempat ibadah. Namun perlu kita kritisi, itu adalah pembangunan fisik (wadag) berupa gedung atau bangunan. Apa yang terjadi setelah tempat ibadah diperbanyak dan dibuat lebih megah? Korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup masih terus berlangsung. Bahkan ketiganya menjadi budaya tersendiri baik di kalangan atas maupun bawah.
Kalau melihat gejala ini kita seakan terlupa. Ekspresi keagamaan kita terreduksi hanya berorientasi pada pembangun fisik belaka. Kita lupa dengan pembangunan rohani dan kedalaman batin. Indonesia gencar dengan pembangunan namun lupa dengan pembangunan rohaninya. Ketika Indonesia disebut sebagai bangsa yang religius, kebudayaan masyarakatnya tidak mencerminkan religiusitasnya. Ini menjadi ironi tersendiri.
Banyaknya tempat ibadah yang diikuti dengan gejala tuna adab seperti korupsi, kekerasan dan kerusakan lingkungan hidup adalah suatu keprihatinan tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tempat ibadah di Indonesia ternyata tidak berkorelasi positif dengan keadaban masyarakat kita. Hal ini juga menjelaskan kita untuk mengganti paradigma supaya tidak berorientasi pada pembangunan fisik. Ada sementara orang yang mengatakan daripada membangun dan menambah tempat ibadah, lebih baik dana itu digunakan untuk membangun sekolah yang rusak atau membuat pendidikan gratis. Bukankah pendidikan juga merupakan salah satu sarana menanamkan keutamaan selain agama?
Terlepas dari perdebatan membangun tempat ibadah atau sekolah, kita melihat bahwa masalah yang krusial adalah menggalakkan pembangunan rohani atau religiositas. Baik sekolah maupun tempat ibadah bisa menjadi sarana untuk mengembangkan kerohanian atau religiositas. Jadi sebenarnya, tempat ibadah adalah sarana untuk menggapai kesejatian bukan tujuan. Mendalami hidup rohani tanpa tempat ibadah pun bisa. Hal ini terlihat di berbagai stasi yang sudah sekian puluh tahun belum mempunyai gereja. Spritualitas dan religiositas yang mendalam bisa ditemukan dan dipraktekkan jauh dari tempat ibadah, bahkan di pasar sekalipun. Namun sebaliknya, di tempat ibadah, bentuk-bentuk skandal dari yang kecil seperti mencuri sandal sampai yang besar korupsi dana umat pun bisa saja terjadi.
Jadi yang terpenting adalah membangun kerohanian terlebih dahulu. Sedangkan gedung tempat ibadah hanyalah sarana meningkatkan kerohanian. Bagi yang sudah terlanjur membangun tempat ibadah, silahkan menggunakan sarana fisik itu untuk memaksimalkan pembangunan rohani. Kita berharap dengan rohani yang terbangun, masyarakat yang berkeadaban akan tercipta di dunia ini.
إرسال تعليق for "Rohani"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق