Toeti Heraty Noerhadi-Rooseno, ahli filsafat dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa permasalahan genting dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain demokratisasi yang kacau, kemandirian yang belum terwujud, karakter bangsa, sumber daya alam yang tidak dikelola dengan bijak sehingga menimbulkan kerusakan alam, serta ketidakpedulian yang sifatnya struktural dan mendalam. (Kompas, 30 Oktober 2007)
Sementara itu dalam harian yang sama, Limas Sutanto dalam artikelnya “Elite Narsistik” berkomentar bangsa Indonesia masih dibelit oleh enam masalah besar yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan.
Dalam kondisi tersebut, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah kaum muda ada dimana dan apa peran atau sikap kaum muda menghadapi hal tersebut? Untuk menjawabnya, tentu kita akan kebingungan ketika kita melihat potret kaum muda saat ini, meskipun tidak semua, mereka tenggelam dalam kondisi yang memprihatinkan. Budaya konsumtif dan hedonisme masih menjadi nafas keseharian kaum muda. Hal ini rupanya tidak merambah hanya di perkotaan, namun di pelosok desa. Kita bisa menyaksikan adanya persamaan gaya hidup mulai dari cara berlaku, berbahasa, ataupun berpakaian. Kebanyakan dari satu tempat ke tempat lain kita akan menjumpai model kaum muda yang sama. Model-model atau karekter yang sama itu berasal dari tayangan televisi atau iklan. Gaya hidup ala televisi atau iklan menjadi kiblat hidup kaum muda.
Padahal kalau kita runut ke masa lalu, peran kaum muda sangat penting dalam membawa perubahan bangsa ini. Mari kita lihat semangat kaum muda misalnya pada peristiwa Sumpah Pemuda, kemerdekaan RI, penggulingan orde lama, dan penggulingan orde baru. Ini menunjukkan bahwa kaum muda mempunyai kekuatan yang luar biasa. Beberapa peristiwa perubahan yang dimotori kaum muda tadi memang sudah terlewati lalu aktor-aktornya pun ada yang sudah masuk ke berbagai organisasi seperti partai politik yang bisa saja melemahkan idealisme mereka. Lalu dalam kondisi yang katakan saja vakum, siapa lagi aktor-aktor kaum muda yang masih bergerak? Mungkin kita akan kesulitan mencari orang-orang tersebut.
Rupanya ada keterputusan generasi kaum muda pejuang. Padahal dalam peristiwa yang belum lama, penggulingan rezim orde baru diganti orde reformasi, kaum muda menjadi garda depan perubahan. Namun sesudahnya, gegap gempita itu lenyap. Padahal keadaan masih saja memprihatinkan. Kasus Lapindo pun tidak dilirik oleh banyak kalangan. Kemiskinan masih berlangsung. Kekerasan berbasis agama dan kedaerahan masih mewarnai negeri ini. Ketidakadilan melenggang dengan santai. Koruptor masih berkeliaran sambil menggondol aset negara.

Reposisi
Sebagian besar kaum muda mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah. Sekolah yang relatif berjenjang tinggi memperlama masa studi. Sementara itu sekolah telah mengasingkan mereka dari realitas masyarakat, mereka tenggelam dalam teori. Tuntutan dunia yang kapitalistik memaksa kaum muda untuk bersikap pragmatis, dan mengejar masa studi yang cepat dengan berorientasi pada nilai akademis dengan harapan nantinya akan mendapatkan posisi empuk (baca: pekerjaan) supaya menjadi orang sukses (baca: kaya).
Kaum muda menjadi korban pendiktean dunia yang kapitalistik. Maka tidak heran kaum muda lebih suka membeli pakaian model terbaru atau perangkat telepon genggam terbaru yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Mereka terbius oleh citra dunia media yang dianggap cantik, tampan, keren dan tidak katrok. Sebaliknya akan sedikit kaum muda yang membeli buku kemudian mempelajarinya dengan kritis. Hal itu dianggap tidak gaul alias “jadul”.
Kisah yang mungkin saja dianggap romantisme bagi kaum muda masa kini, namun bisa memberi inspirasi patut kita simak. Kaum muda tempo dulu, pada umur belasan tahun sudah terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Mereka sudah terbiasa menggerakkan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dalam peristiwa kemerdekaan. Ada ikatan pergerakan pelajar yang rela mati berjuang membela negeri ini demi kemerdekaan. Pada waktu itu kepemimpinan mereka sudah terasah sejak muda. Mari kita bandingkan dengan potret kaum muda saat ini!
Tentu kita tidak bermaksud mendiskreditkan kaum muda pada era ini. Pada dasarnya kaum muda kita saat ini sebenarnya berposisi sebagai korban kemajuan zaman. Mereka terperangkap gurita kapitalisme dan hedonisme. Menyikapi kondisi ini dari berbagai perangkat seharusnya semakin menyadari bahwa kondisi kaum muda bisa menjadi semakin kronis dan kritis. Institusi pendidikan seharusnya tanggap dengan memulai revolusi pendidikan. Pendidikan tidak membentuk manusia-manusia ahli namun menjadi antek-antek kapitalisme yang sebenarnya sedang menggerogoti negerinya. Manusia pintar tidak cukup, namun manusia yang kritis dan tanggap akan keprihatinan negerinyalah yang perlu kita bangun. Harapan ke depannya kita sebenarnya membutuhkan manusia-manusia yang visioner dan berkeadaban. Mereka tidak hidup untuk dirinya sendiri namun hidup dalam kerangka kesejahteraan bersama. Dengan demikian, ketakutan dari WS Rendra yang menyangsikan bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya ketika mereka pulang ke desa, mereka akan bertanya, “Apa yang harus saya lakukan?” tidak akan terwujud.
Untuk kaum muda sendiri, sudah sewajarnya melakukan refleksi atas masalah kekinian dan posisi dirinya terhadap permasalahan tersebut. Ini penting karena walau bagaimanapun kaum muda adalah penerus bangsa. Masa depan bangsa akan ditentukan oleh sepak terjang kaum muda saat ini. Jika kaum muda hanya diam dalam kenikmatan semu, kita bisa membayangkan keadaan bangsa di masa depan, karut marut!
Meskipun demikian kita patut berbangga, di antara kaum muda yang terbius kapitalisme dan hedonisme, masih ada kaum muda yang setia mengusung idealisme. Beberapa di antaranya, mereka membentuk sekolah altrernatif, kelompok studi maupun kelompok seni dan kebudayaan. Rupanya mereka ingin membuat arus baru yang melawan arus kapitalisme dan globalisasi yang mengeksploitasi manusia. Kaum muda tersebut ingin mengembalikan kepalsuan hidup pada kesejatian hidup. Kaum muda seperti inilah yang seharusnya kita dukung. Merekalah yang mempunyai potensi membuat perubahan yang lebih mendasar terhadap negeri ini.

Penulis adalah seorang pemuda

Post a Comment

Kesan/Pesan