Beberapa waktu lalu, kita sering mendengar dan menyaksikan aksi para biksu di negara Myanmar untuk meruntuhkan pemerintahan junta militer yang diktator. Aksi ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM sebesar 500%. Para biksu melihat bahwa hal ini akan menyengsarakan rakyat. Dalam sejarah pemerintahan, junta militer dikenal sebagai pemerintahan yang sangat otoriter yang dalam pelaksanaannya bisa saja membuat rakyat semakin terpinggirkan kemanusiaannya.
Dalam hal ini, agamawan yang diwakili oleh para biksu tidak tinggal diam menghadapi kondisi yang ada. Agamawan bergerak untuk berjuang membebaskan mereka yang tertindas. Mereka tidak tenggelam dalam kenikmatan ritual ibadahnya. Ibadahnya melintasi tembok-tembok tempat doanya dan menyentuh hati sanubari rakyat yang tertindas dan menderita karena sistem politik yang otoriter.
Di sini, agamawan tidak beriman secara mengawang-ngawang. Namun, ia membumikan rasa keberimanannya dalam kenyataan hidup yang ada. Jadi hidup keagamaannya tidak terasing dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat namun justru bersatu padu membentuk kesatuan. Tidak ada gap antara ritualitas dengan tindakan nyata. Jika rasa keagamaan dimanifestasikan dalam kenyataan maka peradaban akan menjadi semakin berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi nilai-nilai agama akan memproyeksikan tatanan kehidupan yang berkeadaban. Dari hal inilah moralitas publik yang berkeadaban akan muncul. Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006).
Agamawan sebagai bagian dari peradaban juga ditantang untuk memberikan pencerahan bagi umatnya. Hal ini penting ketika dunia masih dihadapkan pada situasi yang penuh dengan eksploitasi dan kapitalisme. Dalam situasi itu, manusia menjadi semakin tidak dihargai. Manusia dipandang sebagai modal atau alat untuk mencapai kepentingan tertentu belaka. Kepentingan itu bisa berupa kepentingan politik kekuasaan maupun kepentingan ekonomi. Dalam kepentingan politik kekuasaan terutama menjelang pemilihan umum kita sering mengalami dan melihat bahwa rakyat sering dipakai untuk menjadi kepentingan politis para politikus. Rakyat dianggap sekedar data yang bisa ditambah atau dikurangi untuk memperoleh kemenangan si pengejar kekuasaan. Dalam kepentingan ekonomi kita masih menyaksikan buruh yang diperas tenaganya dan dibayar dengan upah rendah bahkan ada yang tidak dibayar. Ini adalah eksploitasi manusia untuk kepentingan modal. Manusia diturunkan derajatnya menjadi sebuah mesin produksi. Dalam lingkungan hidup, kita sering menyaksikan bahwa banyak orang yang diperalat untuk terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Mereka yang terlibat di lapangan tentu tidak mendapat keuntungan berarti dibandingkan dengan para cukong kayu. Hanya karena mereka miskin mereka dibodohi untuk merusak hutan atau alam dan menjadi alat pencari keuntungan para cukong kayu.
Melihat kondisi ini, agamawan seharusnya bergerak memberi pencerahan kepada umatnya yang bisa saja menjadi korban eksploitasi politik dan ekonomi. Agamawan tidak cukup hanya mengajarkan hidup keagamaan yang berpusat pada aturan formal dan kehidupan ritualistik belaka. Uskup Agung Oscar Romero mengatakan bahwa pewartaan Injil kepada rakyat tidak cukup dilakukan hanya dengan meneruskan tradisi pewartaan dan pengajaran secara massal atau dengan menggurui semata-mata, tetapi harus menekankan pengasuhan iman yang memajukan kepribadian, yang melalui kelompok-kelompok kecil menumbuhkan kesadaran di kalangan rakyat agar memandang lingkungan hidup mereka secara kritis sesuai kriteria Injil (Hagen Berndt, 2006).
Di samping membebaskan yang tertindas, agamawan juga perlu membebaskan si penindas. Hal ini penting karena si penindas sebenarnya adalah orang yang tertindas. Mereka tertindas oleh keserakahannya. Dalam hal ini, si penindas adalah orang yang perlu diselamatkan dari keserakahannya. Keserakahan yang dilakukan oleh penindas telah memberangus nilai-nilai kemanusiaan. Hanya untuk mengejar keuntungan pribadi, rakyat dijadikan alat pencari keuntungan. Akibatnya, rakyat menjadi tidak bermartabat. Dengan membebaskan si penindas dari keserakahannya, hak-hak rakyat akan semakin dihormati. Dalam situasi inilah sebenarnya keadilan akan terjadi. Jadi, peran agamawan tidak hanya tersembunyi di balik tembok tempat ibadah namun juga menyentuh realitas kehidupan. Di sinilah esensi keagamaan menjadi berarti dan menjadi roh dalam bertindak. Lebih lanjut, karena dalam kehidupan kita terdiri dari berbagai macam kelas dan profesi, maka agamawan pun perlu membaur dan melebur ke segala lini. Namun yang menjadi prioritas adalah keberpihakan pada mereka yang tertindas (prefential option for the poor). Di sinilah agamawan telah bertindak menuju hidup yang lebih baik.
Dalam hal ini, agamawan yang diwakili oleh para biksu tidak tinggal diam menghadapi kondisi yang ada. Agamawan bergerak untuk berjuang membebaskan mereka yang tertindas. Mereka tidak tenggelam dalam kenikmatan ritual ibadahnya. Ibadahnya melintasi tembok-tembok tempat doanya dan menyentuh hati sanubari rakyat yang tertindas dan menderita karena sistem politik yang otoriter.
Di sini, agamawan tidak beriman secara mengawang-ngawang. Namun, ia membumikan rasa keberimanannya dalam kenyataan hidup yang ada. Jadi hidup keagamaannya tidak terasing dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat namun justru bersatu padu membentuk kesatuan. Tidak ada gap antara ritualitas dengan tindakan nyata. Jika rasa keagamaan dimanifestasikan dalam kenyataan maka peradaban akan menjadi semakin berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Jadi nilai-nilai agama akan memproyeksikan tatanan kehidupan yang berkeadaban. Dari hal inilah moralitas publik yang berkeadaban akan muncul. Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006).
Agamawan sebagai bagian dari peradaban juga ditantang untuk memberikan pencerahan bagi umatnya. Hal ini penting ketika dunia masih dihadapkan pada situasi yang penuh dengan eksploitasi dan kapitalisme. Dalam situasi itu, manusia menjadi semakin tidak dihargai. Manusia dipandang sebagai modal atau alat untuk mencapai kepentingan tertentu belaka. Kepentingan itu bisa berupa kepentingan politik kekuasaan maupun kepentingan ekonomi. Dalam kepentingan politik kekuasaan terutama menjelang pemilihan umum kita sering mengalami dan melihat bahwa rakyat sering dipakai untuk menjadi kepentingan politis para politikus. Rakyat dianggap sekedar data yang bisa ditambah atau dikurangi untuk memperoleh kemenangan si pengejar kekuasaan. Dalam kepentingan ekonomi kita masih menyaksikan buruh yang diperas tenaganya dan dibayar dengan upah rendah bahkan ada yang tidak dibayar. Ini adalah eksploitasi manusia untuk kepentingan modal. Manusia diturunkan derajatnya menjadi sebuah mesin produksi. Dalam lingkungan hidup, kita sering menyaksikan bahwa banyak orang yang diperalat untuk terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Mereka yang terlibat di lapangan tentu tidak mendapat keuntungan berarti dibandingkan dengan para cukong kayu. Hanya karena mereka miskin mereka dibodohi untuk merusak hutan atau alam dan menjadi alat pencari keuntungan para cukong kayu.
Melihat kondisi ini, agamawan seharusnya bergerak memberi pencerahan kepada umatnya yang bisa saja menjadi korban eksploitasi politik dan ekonomi. Agamawan tidak cukup hanya mengajarkan hidup keagamaan yang berpusat pada aturan formal dan kehidupan ritualistik belaka. Uskup Agung Oscar Romero mengatakan bahwa pewartaan Injil kepada rakyat tidak cukup dilakukan hanya dengan meneruskan tradisi pewartaan dan pengajaran secara massal atau dengan menggurui semata-mata, tetapi harus menekankan pengasuhan iman yang memajukan kepribadian, yang melalui kelompok-kelompok kecil menumbuhkan kesadaran di kalangan rakyat agar memandang lingkungan hidup mereka secara kritis sesuai kriteria Injil (Hagen Berndt, 2006).
Di samping membebaskan yang tertindas, agamawan juga perlu membebaskan si penindas. Hal ini penting karena si penindas sebenarnya adalah orang yang tertindas. Mereka tertindas oleh keserakahannya. Dalam hal ini, si penindas adalah orang yang perlu diselamatkan dari keserakahannya. Keserakahan yang dilakukan oleh penindas telah memberangus nilai-nilai kemanusiaan. Hanya untuk mengejar keuntungan pribadi, rakyat dijadikan alat pencari keuntungan. Akibatnya, rakyat menjadi tidak bermartabat. Dengan membebaskan si penindas dari keserakahannya, hak-hak rakyat akan semakin dihormati. Dalam situasi inilah sebenarnya keadilan akan terjadi. Jadi, peran agamawan tidak hanya tersembunyi di balik tembok tempat ibadah namun juga menyentuh realitas kehidupan. Di sinilah esensi keagamaan menjadi berarti dan menjadi roh dalam bertindak. Lebih lanjut, karena dalam kehidupan kita terdiri dari berbagai macam kelas dan profesi, maka agamawan pun perlu membaur dan melebur ke segala lini. Namun yang menjadi prioritas adalah keberpihakan pada mereka yang tertindas (prefential option for the poor). Di sinilah agamawan telah bertindak menuju hidup yang lebih baik.
إرسال تعليق for "Bertindak"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق