Ada sebuah peristiwa yang menarik. Seseorang pergi ke suatu tempat naik pesawat terbang. Dalam pesawat rupanya orang tersebut harus duduk bersebelahan dengan orang lain. Jadi mau tidak mau, orang tersebut harus duduk bersebelahan dengan orang lain yang tidak dikenalnya. Dalam perjalanan, kedua orang itu terlibat dalam suatu pembicaraan yang hangat. Mereka berbicara banyak hal. Selanjutnya, mereka pun semakin akrab.
Setelah sekian lama mereka berbicara, salah satu dari mereka tiba-tiba menanyakan identitas keagamaan. Lalu pembicaraan mereka berubah menjadi aksi bisu setelah mereka sama-sama mengetahui bahwa agama yang mereka anut ternyata berbeda. Keakraban pun runtuh menjadi sinisme.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa sungguh sangat sulit memahami perbedaan. Terkadang kita semua terjebak dan berharap bahwa semua orang di sekitar kita kalau bisa seagama. Hal ini sangat kentara pada beberapa kelompok orang yang merasa bahwa akan lebih nyaman jika bergaul dengan yang seagama saja. Bahkan di suatu kampung masyarakat tergoda hanya menerima mereka yang seagama saja. Mereka yang berbeda agama dicurigai, dihambat, bahkan kalau perlu diusir.
Terkadang kita sangat sulit untuk mengakui perbedaan apalagi harus menghormati perbedaan. Menghadapi kenyataan di depan mata bahwa teman kita berbeda agama saja sudah sulit. Hal ini hampir sama dalam kasus kedua orang tadi di pesawat terbang.
Dalam kasus lain, kadang banyak orang menjadi berputus asa ketika dirinya menjalani peran sebagai penganut agama minoritas di negeri ini. Termasuk diri saya pun pernah mempunyai pengalaman tentang hal ini. Dulu waktu kecil, hampir setiap hari saya mengalami hal yang membuat hati tidak enak. Teman-teman sepermainan saya baik di kampung maupun di sekolah selalu mengejek agama saya yang kebetulan juga minoritas di tempat itu. Saya merasa, kok, sangat menderita menjadi orang minoritas.
Memang dalam banyak hal, waktu itu, saya dan teman-teman yang beragama mayoritas itu selalu bekerja sama dengan baik. Bahkan tak henti-hentinya kami pun harus bahu-membahu untuk bekerja sama. Namun kalau sudah berbicara menyangkut agama yang timbul hanyalah sakit hati semata.
Pemeluk agama mempunyai alasan yang beraneka ketika memutuskan untuk memilih suatu agama. Bisa saja ia memeluk agama karena warisan dari orangtua, lingkungan sosial yang membuatnya tertarik pada agama tersebut, kondisi aman, atau pengalaman iman yang personal. Namun dalam perkembangan berikutnya, pemeluk agama terkadang terjebak pada kesombongan imannya. Ia merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Maka agamanya layak untuk disiarkan sedemikian gencarnya. Upaya penggalangan pengikut pun dimulai. Bahkan kalau perlu mereka membuat aturan tidak boleh ada agama lain di daerahnya. Hal ini tampak ketika seorang tetangga saya yang baru saja pindah ke desa itu disuruh untuk pindah agama. Di kasus lain ada yang mempersulit izin pembangunan tempat ibadah.
Jelas ada masalah mendasar yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut. Masing-masing pemeluk agama mempunyai prasangka terhadap agama lain. Dari prasangka itulah, kecurigaan timbul. Padahal belum tentu yang disangka itu adalah benar. Hal ini tidak hanya terjadi pada agama saja. Bahkan pada suku, budaya maupun ras pun terkadang kita masih diliputi oleh prasangka-prasangka. Prasangka itu sangat subyektif dan terkadang menjadi sangat emosional. Bahkan kadang harus berujung dengan kekerasan maupun darah.
Prasangka sangat berbahaya karena bisa saja mengingkari kebenaran dari sebuah kenyataan. Sedangkan agama adalah sesuatu yang dianggap menjadi jalan kebenaran bagi pemeluknya namun terkadang tidak bagi yang bukan pemeluknya. Tentu pemeluk agama meyakini bahwa agamanya adalah benar.
Dari keyakinan-keyakinan itulah, alangkah baiknya jika dialog kebenaran antar agama dilakukan. Dialog ini untuk meruntuhkan prasangka. Dari dialog itulah masing-masing pemeluk saling mendengarkan dan menyimpan informasi jati diri agama lain. Tentu hal ini tidak bisa diperdebatkan karena hal ini adalah masalah keyakinan yang bisa saja tidak bisa dirasionalisasi ataupun bahkan sangat rasional.
Yang perlu disadari dalam dialog antar agama itu adalah bahwa di dunia ini niscaya ada banyak agama dan keyakinan karena beragamnya budaya. Yang kedua, masing-masing agama mempunyai sejarahnya sendiri artinya kebenarannya pun terjadi sangat khas dan tidak bisa digeneralisasikan secara mudah. Karena kekhasan itulah agama mempunyai kebenaran masing-masing. Hanya ada latar belakang yang sama yaitu munculnya agama karena dipicu oleh kondisi masyarakat yang bobrok. Karena mempunyai kebenaran masing-masing, dalam ranah kehidupan bersama dan harmoni, masing-masing pemeluk sepantasnya saling menghormati dan menghargai sebagai sesama makhluk yang berziarah di dunia ini meskipun nilai, keyakinan dan moralitasnya yang berbeda. Yang pantas dijadikan refleksi dan agenda bersama adalah agama-agama yang lahir karena diawali oleh kondisi masyarakat yang bobrok bisa bahu-membahu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Setelah sekian lama mereka berbicara, salah satu dari mereka tiba-tiba menanyakan identitas keagamaan. Lalu pembicaraan mereka berubah menjadi aksi bisu setelah mereka sama-sama mengetahui bahwa agama yang mereka anut ternyata berbeda. Keakraban pun runtuh menjadi sinisme.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa sungguh sangat sulit memahami perbedaan. Terkadang kita semua terjebak dan berharap bahwa semua orang di sekitar kita kalau bisa seagama. Hal ini sangat kentara pada beberapa kelompok orang yang merasa bahwa akan lebih nyaman jika bergaul dengan yang seagama saja. Bahkan di suatu kampung masyarakat tergoda hanya menerima mereka yang seagama saja. Mereka yang berbeda agama dicurigai, dihambat, bahkan kalau perlu diusir.
Terkadang kita sangat sulit untuk mengakui perbedaan apalagi harus menghormati perbedaan. Menghadapi kenyataan di depan mata bahwa teman kita berbeda agama saja sudah sulit. Hal ini hampir sama dalam kasus kedua orang tadi di pesawat terbang.
Dalam kasus lain, kadang banyak orang menjadi berputus asa ketika dirinya menjalani peran sebagai penganut agama minoritas di negeri ini. Termasuk diri saya pun pernah mempunyai pengalaman tentang hal ini. Dulu waktu kecil, hampir setiap hari saya mengalami hal yang membuat hati tidak enak. Teman-teman sepermainan saya baik di kampung maupun di sekolah selalu mengejek agama saya yang kebetulan juga minoritas di tempat itu. Saya merasa, kok, sangat menderita menjadi orang minoritas.
Memang dalam banyak hal, waktu itu, saya dan teman-teman yang beragama mayoritas itu selalu bekerja sama dengan baik. Bahkan tak henti-hentinya kami pun harus bahu-membahu untuk bekerja sama. Namun kalau sudah berbicara menyangkut agama yang timbul hanyalah sakit hati semata.
Pemeluk agama mempunyai alasan yang beraneka ketika memutuskan untuk memilih suatu agama. Bisa saja ia memeluk agama karena warisan dari orangtua, lingkungan sosial yang membuatnya tertarik pada agama tersebut, kondisi aman, atau pengalaman iman yang personal. Namun dalam perkembangan berikutnya, pemeluk agama terkadang terjebak pada kesombongan imannya. Ia merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Maka agamanya layak untuk disiarkan sedemikian gencarnya. Upaya penggalangan pengikut pun dimulai. Bahkan kalau perlu mereka membuat aturan tidak boleh ada agama lain di daerahnya. Hal ini tampak ketika seorang tetangga saya yang baru saja pindah ke desa itu disuruh untuk pindah agama. Di kasus lain ada yang mempersulit izin pembangunan tempat ibadah.
Jelas ada masalah mendasar yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut. Masing-masing pemeluk agama mempunyai prasangka terhadap agama lain. Dari prasangka itulah, kecurigaan timbul. Padahal belum tentu yang disangka itu adalah benar. Hal ini tidak hanya terjadi pada agama saja. Bahkan pada suku, budaya maupun ras pun terkadang kita masih diliputi oleh prasangka-prasangka. Prasangka itu sangat subyektif dan terkadang menjadi sangat emosional. Bahkan kadang harus berujung dengan kekerasan maupun darah.
Prasangka sangat berbahaya karena bisa saja mengingkari kebenaran dari sebuah kenyataan. Sedangkan agama adalah sesuatu yang dianggap menjadi jalan kebenaran bagi pemeluknya namun terkadang tidak bagi yang bukan pemeluknya. Tentu pemeluk agama meyakini bahwa agamanya adalah benar.
Dari keyakinan-keyakinan itulah, alangkah baiknya jika dialog kebenaran antar agama dilakukan. Dialog ini untuk meruntuhkan prasangka. Dari dialog itulah masing-masing pemeluk saling mendengarkan dan menyimpan informasi jati diri agama lain. Tentu hal ini tidak bisa diperdebatkan karena hal ini adalah masalah keyakinan yang bisa saja tidak bisa dirasionalisasi ataupun bahkan sangat rasional.
Yang perlu disadari dalam dialog antar agama itu adalah bahwa di dunia ini niscaya ada banyak agama dan keyakinan karena beragamnya budaya. Yang kedua, masing-masing agama mempunyai sejarahnya sendiri artinya kebenarannya pun terjadi sangat khas dan tidak bisa digeneralisasikan secara mudah. Karena kekhasan itulah agama mempunyai kebenaran masing-masing. Hanya ada latar belakang yang sama yaitu munculnya agama karena dipicu oleh kondisi masyarakat yang bobrok. Karena mempunyai kebenaran masing-masing, dalam ranah kehidupan bersama dan harmoni, masing-masing pemeluk sepantasnya saling menghormati dan menghargai sebagai sesama makhluk yang berziarah di dunia ini meskipun nilai, keyakinan dan moralitasnya yang berbeda. Yang pantas dijadikan refleksi dan agenda bersama adalah agama-agama yang lahir karena diawali oleh kondisi masyarakat yang bobrok bisa bahu-membahu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
إرسال تعليق for "Prasangka"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق