Insiden bentrokan antara aparat dengan kelompok sipil yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dibantu warga sipil di Poso Januari lalu sangat memprihatinkan. Kasus ini menyisakan keprihatinan yang mendalam karena memperlihatkan betapa rapuhnya kondisi kerukunan antar umat beragama di daerah yang kaya tersebut. Baku tembak dan kekerasan bersenjata masih saja terjadi meskipun Deklarasi Malino, perjanjian perdamaian telah ditandatangani pada bulan Desember 2001.
Rupanya sangat sulit memaafkan peristiwa bentrokan antar agama. Meskipun dari kedua kubu jelas-jelas telah menjadi korban. Keduanya masih saja memperlihatkan taring perlawanan. Balas dendam masih mewarnai di hati masing-masing. Mereka masih teringat perlakuan dari pihak lawan yang melakukan pembantaian dengan cara-cara yang sadis.
Ketika proses pendamaian tidak berhasil, pemerintah melakukan pendekatan keamanan dengan mengerahkan aparat keamanan ke daerah konflik. Yang muncul adalah reaksi yang negatif dari pihak yang bertikai. Pihak yang berseteru menganggap aparat tidak adil dalam menangani perselisihan yang terjadi. Beberapa waktu lalu ketika Tibo cs di eksekusi, banyak pihak yang mendukung tindakan pemerintah tersebut. Namun sebaliknya, ada pihak yang tidak setuju dengan alasan kemanusiaan dan tidak diusutnya aktor di balik itu. Begitu juga ketika aparat melakukan penangkapan terhadap warga yang masuk dalam DPO, aparat malah mendapat perlawanan dari warga yang mendukung orang yang masuk dalam DPO. Ini memperlihatkan betapa sulitnya melihat obyektivitas dalam sebuah konflik dan kekerasan yang terjadi di Poso.
Ketika pendekatan keamanan gagal karena kesulitan obyektivitasnya, maka para pemuka agama dan tokoh masyarakatlah yang seharusnya bertindak untuk melakukan rekonsiliasi. Rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan (KBBI, 2003). Dengan kata lain rekonsiliasi adalah pendamaian kembali antara pihak-pihak yang bertikai. Rekonsiliasi terdengar sepele namun sangat sulit dilakukan. Masyarakat Poso sudah berusaha membuat rekonsiliasi melalui Deklarasi Malino. Namun itu lebih pada kontrak sosial saja selanjutnya mengalami kesulitan dalam proses penegakan hukum. Lihatlah kasus Tibo cs dan penangkapan warga yang tercatat dalam DPO.
Ada hal yang mendesak harus dilakukan yaitu penghayatan kembali mengenai beragama. Konflik dan kekerasan yang terjadi sebelumnya dipicu oleh pemahaman agama yang tidak siap dengan perbedaan. Selanjutnya agama menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap orang yang berbeda agama. Semua itu demi surga. Masing-masing pihak pun demi surga. Hanya ada satu pihak yang mendukung konflik tersebut tidak demi surga namun demi uang dan kekuasaan yaitu provokator.
Di sini pemuka agama seharusnya mulai mentransformasi nilai-nilai keagamaan tidak melulu kepada surga. Tokoh agama bukan sekadar mengurusi ritualitas agama yang justru menjauhkan mereka dari persoalan umat. Namun, tokoh agama adalah pihak yang sejatinya menyuarakan kebajikan dalam masyarakat (M. Hilaly Basya). Dalam hal ini agama dijadikan sarana supaya umat bisa saling memaafkan pihak-pihak yang bertikai secara ikhlas tanpa ada balas dendam.
Konsep rekonsiliasi dituntut secara mutlak karena jelas Poso adalah wilayah yang plural. Rekonsiliasi juga menjadi ibadah untuk menegakkan kemartiran yaitu kemartiran yang memaafkan. Rekonsiliasi menolak mata ganti mata, gigi ganti gigi. Namun rekonsiliasi menjunjung kehidupan bersama yang saling menyelamatkan. Rekonsiliasi menolak pembantaian namun mengusahakan penyelamatan bagi pihak-pihak yang bertikai. Masing-masing pihak diminta untuk ikhlas memaafkan musuh-musuhnya tanpa harus menuntut balas dendam. Masing-masing kubu diminta untuk secara ikhlas mengakui kesalahan masing-masing. Selanjutnya saling percaya antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak bagi kehidupan selanjutnya. Itu adalah hal-hal yang semestinya diajarkan di masjid-masjid ataupun di gereja-gereja oleh para tokoh agama. Dalam hal ini, para tokoh agama sudah melemparkan api atau roh perdamaian (rekonsiliasi) pada masing-masing umat.
Selanjutnya, setelah roh itu membadan pada masing-masing pemeluk, maka tindakan yang lebih konkret berkaitan dengan kehidupan sosial mutlak dilakukan. Para tokoh agama pun dituntut untuk aktif dalam pemulihan kehidupan sosial maupun ekonomi. Pemulihan dilakukan dengan menggandeng semua pihak sehingga hal ini menjadi agenda bersama. Jadi perwujudan nilai keagamaan pun tidak hanya pada aspek ritualitas saja namun juga pada aspek rekonsiliasi hidup beragama, berekonomi, berkehidupan sosial maupun berpolitik. Dalam hal ini tokoh agama atau agamawan menjadi agamawan organik. Menurut M. Hilaly Basya, agamawan organik adalah orang (siapa saja) yang bisa mengartikulasikan keadaan dan menemukan “suara-suara agama” (religious voices) menjadi kritik sosial dan counter hegemony terhadap sistem yang menindas. Agamawan organik memiliki kepekaan dalam membaca situasi sosial-politik yang ada di sekitarnya. Agamawan tidak hanya melulu mengurusi surga. Namun, agamawan seharusnya bisa menjadikan surga seperti di bumi melalui rekonsiliasi hidup antar agama, budaya, politik maupun sosial dan ekonomi.
إرسال تعليق for "Rekonsiliasi"
Kesan/Pesan
إرسال تعليق