DIA ANAK NABI

DIA ANAK NABI

Tiba-tiba seorang bocah berumur lima tahun berlari dengan diiringi tangisnya yang menyayat. Dihampirinya seorang perempuan yang sedang duduk di teras rumah yang sederhana.
“Ibu, teman-teman mengolok-olok aku!” kata anak kecil itu.
“Mengolok-olok apa sayangku?” tanya ibunya dengan penuh kesabaran.
“Mereka mengatakan aku anak Arab. Temannya Onta. Hidungku besar sebesar terong dan kulitku hitam!” jawab si kecil masih dalam tangisnya.
“Sudahlah Anto, jangan kamu hiraukan kata-kata mereka. Bukankah makanan kesukaanmu, kurma, dari Arab. Bukankah tokoh cerita kesayanganmu, Aladin si lampu Ajaib juga dari Arab. Dan bukankah kamu juga suka menggambar unta dari Arab. Jangan berkecil hati anakku!” ujar ibunya menenangkan.
Sementara memberi nasihat pada anaknya, perempuan berusia dua puluh tahun itu terbawa kembali dalam arus kesedihan beberapa tahun silam. Kejadian yang memilukan yang telah membuat dirinya dipandang menjijikan oleh warga dusunnya. Orang-orang yang dulu sering menyapa dan mengajak bersendau gurau di pekarangan rumahnya, kini telah berubah dingin dan bisu. Hanya cibiran dan muka jijik yang terkirim ke telaga bening kembar Dini yang kadang membanjir menjadi air mata. Dia protes pada keadaan yang harus diterima dengan berat hati. Ibu muda itu bertanya tentang kesalahannya tapi tak pernah terjawab kecuali dia miskin. Kemiskinannyalah yang mengantarkan pada penderitaan. Kemiskinannnyalah yang telah membuat dirinya pergi menjadi pembantu rumah tangga di negeri para nabi, Arab. Ibunya sudah melarangnya bekerja di negeri asing. Karena hantu kemiskinan yang meneror dan sulitnya bersaing mencari pekerjaan di tanah air itulah yang memantapkan langkahnya menginjak negeri gurun itu. Upah di negeri itu membuai harapannya untuk menjadi orang yang sedikit berkecukupan.
“Apa salahku, bukankah aku tidak pernah meminta kepiluan ini. Aku tidak pernah bercita-cita mempermalukan anakku dengan olok-olok yang menyiksa. Aku hanyalah si miskin yang tidak pernah bisa termanusiakan oleh manusia. Mereka semua telah memandangku tak lebih dari seekor anjing kurap melahirkan anak. Jijik!”
“Sudahlah anakku bersabarlah. Maklumilah kesalahan orang-orang yang tidak mau tahu dengan keadaanmu. Mereka hanya melihat, tidak merasakan betapa perihnya derita yang kamu tanggung bersama anakmu. Bahkan anakmu yang tidak tahu menahu dengan urusan nasib harus menjadi korban!” nasihat perempuan beruban, ibunya di suatu malam yang dingin karena dinding rumahnya hanyalah anyaman bambu.
Perempuan bekas pahlawan rial itupun hanya diam mencoba merenungkan kata-kata bijak ibunya yang tegar melawan perihnya hidup. Hanya ibunyalah buku pedoman hidup yang telah membimbingnya semenjak ayahnya meninggal pada waktu Dini masih di Sekolah dasar. Ibunyalah tiang penyangga dari segala beban hidup yang menderanya. Sebuah telaga kecil yang memberinya air segar manakala letih menghadapi cobaan berat.
“Ibu apakah aku dan anakku selamanya harus menanggung derita ini. Aku tak pernah memilih keadaan ini. Aku tak pernah memilih penderitaan ini, Ibu!” keluhnya sambil terisak.
Ibu yang mukanya mulai keriput itu langsung mendekatkan diri pada putri yang dikasihinya, didekapnya dan dibelai rambutnya dengan penuh cinta. Malam semakin hitam meninggalkan siang yang lelah. Anto, bocah kecil itu tertidur pulas di samping kedua manusia yang larut dalam keprihatinan. Tampak wajah si bocah yang menampakkan keluguan memberi harapan baru bagi Dini. Mestikah hidup ini diterima dengan lugu tanpa protes pada keadaan? Pikiran Ibu Anto riuh mencoba memahami semua yang harus ditanggungnya. Lampu kecil kekuningan lima watt menerangi kamar. Ruangan yang redup itu sepi, hanya angin yang menerobos sela-sela dinding bambu memberi suasana baru di dalamnya. Tak terasa mereka sudah larut dalam alam tidurnya.
Pagi menjelang, ayam-ayam berkokok. Matahari mulai manampakkan semburat merah keindahannya. Iringan kicau burung membentuk simfoni pagi. Rumah yang sederhana itu mulai disibukkan oleh aktifitas penghuninya. Dini dan ibunya sibuk menyiapkan makan pagi. Sementara itu Anto bermain di luar bersama keindahan pagi. Rumah berdinding bambu itu semakin terlihat terbelakang dibandingkan dengan rumah-rumah di kanan-kirinya. Dari komplek perumahan berdinding keramik, tetangga Dini, muncullah serombongan anak-anak yang mendekat ke pekarangan tempat bermain Anto. Tiba-tiba secara serempak anak-anak itu membentuk koor.
“Anak Arab, we…, we…, Anak Arab, we…, we….!”
“Anak Onta, we…, we…,Anak Onta, we…, we…..!”
Lalu Anto entah mengapa tiba-tiba mengambil beberapa batu dan melemparkannya ke segerombolan bocah kecil itu. Spontan beberapa dari mereka berlari, tetapi ada beberapa yang mengaduh diikuti suara tangisan yang keras. Anto tersenyum melihat dua temannya yang telah mengolok-olok dirinya menangis dengan luka di tubuhnya akibat lemparan batu. Dia juga membalas olok-olok segerombolan bocah yang lari terbirit-birit.
“Rasakan!” teriak Anto dengan geram,”Emang enak!”
Tangisan dua bocah kecil itu mengundang perhatian beberapa orang. Tampak dua orang perempuan berlari menghampiri mereka berdua. Tampaknya ibu dari kedua anak itu.
“Dasar anak Arab haram. Nggak punya aturan, nggak pernah dididik!” umpat perempuan itu.
“Dasar anak pelacur!” tambah perempuan yang satunya lagi.
Mendengar bentakan-bentakan itu Anto menangis kemudian memanggil ibunya. Spontan Dini dari arah dapur keluar menghampiri anaknya. Bersamaan dengan sampainya Dini ke posisi Anto, serentetan makian menghantam gendang telinga Dini.
“Dasar perempuan jalang, pelacur Arab. Ngomongnya jadi pembantu pulang-pulang berbadan dua. Paling-paling pembantu plus pelacur!” teriak salah seorang ibu dari anaknya yang terluka oleh lemparan batu. Dini hanya diam, tapi batinnya memberontak untuk mengatakan yang sebenarnya walaupun dia sudah tahu tidak mungkin dipercaya.
“Tolong ibu-ibu jangan sakiti kami. Kami sudah menderita. Aku bukan pelacur. Aku hanyalah korban perkosaan dari majikan di Arab. Jadi tolong jangan hina anakku. Kalian boleh menghinaku, tapi tolong mengertilah dengan perasaan kami. Jangan tambahi beban kami!”
Dua perempuan itu pergi menggendong anak masing-masing sambil mencibir,”Dasar jalang, ngakunya pembantu padahal pelacur!”
Dini masih berdiri mematung. Makian dari dua orang perempuan itu menyayat-yayat hatinya. Pagi yang indah itu tampak sangat menakutkan bagaikan mendung yang diliputi angin topan dan guntur. Tubuhnya gemetar dan melemas. Matanya berkunang-kunang. Beberapa detik kemudian gelap.
“Jangan hina aku! Jangan sakiti anakku!” tiba-tiba perempuan malang itu berteriak segera setelah siuman dari pingsannya. Keringat membasahi tubuhnya yang masih menyiratkan kecantikan yang terselimuti oleh penderitaan.
Ibu Dini yang sudah menua itu prihatin melihat keadaan putrinya.
“Sudahlah Dini, relakan semua itu anakku. Relakan semua itu anakku. Bertahanlah demi anakmu. Bertahanlah demi buah hatimu itu. Ibu selalu membantu kamu Dini. Sudahlah jangan dengarkan mereka. Orang-orang itu memang tidak pernah bisa merasakan penderitaanmu. Eling anakku, ingat sama Gusti Allah. Semua ini adalah beban hidup yang mesti kamu tanggung. Serahkan sama Gusti semua itu. Biarlah Dia sendiri yang menolongmu, anakku!”
Dini pun terdiam. Sepercik air sejuk telah membasahi kekeringan jiwanya. Seperti tersentak dalam kesadaran yang baru. Hidup harus dijalani. Beban yang harus dipikul tidak boleh ditolak karena akan ada yang turut meringankannya. Harapan telah bersemi seperti hijaunya rumput di musim penghujan. Tiba-tiba dia teringat pengalaman pahitnya di negeri Arab. Tuan Hamid, majikannya berada dalam ingatannya. Sosok laki-laki setengah baya berkulit hitam serta rambut sedikit keriting. Dini teringat ketika itu, sebulan sebelum kontrak kerjanya habis. Tengah malam pintu kamarnya diketuk, kemudian gadis itu memakai pakaian perempuan khas negeri itu. Dibukanya pintu kamarnya, laki-laki itu telah berdiri di ambang pintu. Sejurus kemudian sesosok laki-laki itu menerobos masuk setelah membungkam pembantu itu. Dalam ketakutannya yang luar biasa Dini tak sadarkan diri. Dari situlah penderitaannya berawal. Dari situlah warga dusunnya menganggapnya jijik. Dari situlah orang-orang melihatnya bukan manusia lagi.
“Anto,”katanya sambil melelehkan air matanya,”kamu anak Arab yang akan menjadi nabi!”
“Nabi itu apa sih Bu?” tanya Anto sambil merajuk.
“Yang tidak pernah menuruti cinta dirinya, tapi selalu mencintai orang lain!”


Paguyangan, 20 November 2004
Lukas Awi Tristanto Tanggal 23 Juni 1979, tiba-tiba aku terlempar ke dunia. Rupanya Tuhan memberi aku kesempatan untuk berziarah menikmati harumnya kehidupan.

إرسال تعليق for "DIA ANAK NABI"