CINTA LAMA

“Apakah Anda Tuti? Sedang apa Anda di sini?” tanya seorang laki-laki berusia empat puluhan.
“Iya benar. Lalu benarkah saya berhadapan dengan Karyo teman kuliah saya di Yogyakarta?” balas seorang perempuan yang membenarkan dirinya bernama Tuti.
“Iya. Benar sekali saya Karyo teman kuliah Anda. Apa kabar? Baikkah?” tanya Karyo sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan.
“Iya aku baik-baik saja!” sambil membalas jabatan tangan Karyo.
“Tapi mengapa Anda di tempat ini? Apakah ada yang dirawat di panti ini?”
“Iya dua anak saya. Saya ingin kedua anak saya cepat bebas dari ketergantungan obat bius. Saya sedih sekali kedua anak saya sangat nakal. Mereka sudah kecanduan obat bius, parah sekali. Anakku hanya dua orang. Tapi semuanya pecandu obat bius!”
“Saya ikut prihatin mendengarnya. Mari silahkan duduk kita perlu berbincang-bincang banyak. Sudah lama sekali kita tidak bertemu dan bercakap-cakap!” ajak Karyo.
Mereka berdua menuju ke sederetan kursi tunggu bangunan Panti Rehabilitasi Narkoba dari sebuah Yayasan. Rupanya orang-orang di tempat itu sedang sibuk beraktivitas sehingga banyak dijumpai lalu lalang orang yang tergesa.
“Sudah berapa lama mereka masuk ke sini?” tanya Karyo.
“Sudah dua minggu ini. Saya berharap mereka lekas sembuh!”
“Siapa nama-nama mereka!”
“Eko dan Dwi!”
“Oh mereka, baiklah nanti saya urus mereka. Lalu bagaimana dengan kabar suamimu Anto?”
“Kami sudah berpisah sepuluh tahun lalu” jawab Tuti lirih.
“Maafkan saya, jika membuat Anda sedih!”
Keduanya sama-sama terdiam tanpa sepatah kata pun. Hanya desahan-desahan keprihatinan yang dikeluarkan keduanya.
“Apakah Anda tidak mencoba untuk membangun relasi lagi dengan Anto?”
“Sudah saya coba. Tapi rupanya dia sudah tidak berminat kembali denganku,”katanya sambil melelehkan air mata,” dia bahkan telah membawa semua harta kami. Dia sekarang telah menghilang entah ke mana!”
“Bagaimana mungkin bukankah dia orang yang sangat mencintaimu. Aku masih ingat dulu waktu kita masih kuliah, kamu pacarku, tapi entah mengapa tiba-tiba dia jadi pacarmu. Kamu pindah ke hatinya!” tanya Karyo dengan penuh rasa penasaran.
“Maafkan saya, Karyo! Aku telah meninggalkanmu. Segalanya sudah terjadi. Saya sudah menanggung risiko itu. Lalu bagiamana kabar istrimu? Sudah punya anak berapa?”
“Ah, anak saya banyak di panti ini. Tapi saya tidak punya istri. Saya tidak berminat punya istri tanpa dilandasi cinta. Apalagi aku masih mencintaimu. Saya berpikir bahwa dengan cara seperti inilah saya mencintaimu. Kemudian waktu berjalan terus, lalu, saya bersama dengan beberapa teman mendirikan yayasan ini!”
“Maafkan saya sekali lagi Karyo! Saya telah mengubah haluan hidupmu!” sambil meneteskan air mata yang kian menderas.
“Sudahlah semua sudah terjadi. Dan aku sangat menikmati semua ini. sekarang apa pun yang sudah terlanjur terjadi, kita sempurnakan supaya lebih baik dan manusiawi. Mari kita selamatkan anak-anakmu. Semua ini memang bukan salah mereka. Keduanya adalah korban dari nafsu orang-orang yang cinta diri!”
“Iya kamu benar sekali. Mereka adalah korban dari ketidakberesan kedua orang tuanya. Saya merasa bersalah sekali. Saya sangat kecewa pada Mas Anto yang pergi meninggalkan kami!”
@@@
“Eko dan Dwi, kemari Bapak mau bicara dengan kalian!” panggil Karyo dengan nada yang penuh wibawa.
“Iya Pak!” jawab kedua remaja berusia belasan tahun itu.
“Begini, Bapak ingin ngobrol dengan kalian. Bapak sedang tidak ada teman nih. Pegawai-pegawai panti sedang sibuk memberi terapi pada teman-teman kalian. Ngomong-ngomong bagaimana keadaan kalian?” tanya Karyo.
“Baik Pak!” jawab keduanya serempak membentuk duet yang harmonis.
“Pak saya sebenarnya sangat rindu pada seseorang yang bisa bercerita banyak hal. Cerita apa saja!”
“Saya juga,” sambung Dwi menyusul Eko,”Ibu waktu di rumah sepertinya sudah tidak punya waktu untuk bercerita banyak bersama kami. Kami sangat kesepian. Waktu ibu rupanya sudah kehabisan untuk mencari nafkah!”
“Iya, iya Bapak mengerti akan masalah kalian. Sekarang kalian sudah punya teman ngobrol. Saya akan punya waktu banyak untuk orang yang saya sayangi, termasuk kalian!”
Mereka bertiga larut dalam pembicaraan. Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat. Suasana Panti Rehabilitasi itu sedang sepi. Jarang sekali orang-orang berlalu-lalang di sekitar bangunan itu. Suasana yang mendukung untuk saling mencurahkan segala sesuatu yang ada di perasaan maupun pikiran mereka tercipta. Semuanya tercurah tanpa hambatan apapun. Kedua remaja itu merasakan hadirnya kemanusiaan diri. Sesuatu yang sudah lama tidak mereka miliki. Sejak kecil, mereka hidup dalam kesunyian. Ibunya yang seorang diri tanpa ayah terlalu kewalahan merawat mereka berdua. Anak-anak itu tidak tahu keberadaan ayahnya. Dalam kemiskinan dan penderitaan, ibunya tidak maksimal dalam memberi perhatian kepada anak-anaknya. Harta bendanya lenyap dibawa lari oleh ayah mereka yang sama sekali tidak mirip ayah. Ibunya sibuk bekerja demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka bertiga. Kedua remaja itu hidup dalam kesepian tanpa perhatian yang lebih. Dalam kesunyian itu mereka terseret dalam dunia baru dengan teman-temannya. Dunia yang memberi harapan semu. Tawaran pertemanan semu. Tawaran kenikmatan semu. Tawaran harga diri semu. Semua serba semu hingga hilang jati diri dan menjadi budak kenikmatan barang perusak itu, narkotika, obat bius.
Malam harinya, Karyo yang tengah memasuki usia setengah baya itu terkenang kisah masa mudanya. Perempuan bernama Tuti yang sangat dicintainya itu ternyata telah sendirian ditinggal oleh laki-laki yang dulu merebutnya dari pelukan Karyo. Anto, laki-laki itu bisa mencuri hati Tuti. Entah mengapa Tuti bisa tercuri hatinya dan lebih memilih Anto. Memang cinta baginya adalah cinta. Karyo mempunyai prinsip bahwa cinta kepada seseorang tetap harus dijunjung tinggi dengan segala pengorbanan. Sebagai bukti cintanya, Karyo membiarkan Tuti memilih Anto. Bahkan dalam usia yang telah matang, Karyo tidak menikah demi cintanya kepada Tuti. Perjumpaan dengan Tuti beberapa waktu lalu membuat dirinya sering bernostalgia dengan masa lalunya.
“Ah Tuti, aku selalu mencintaimu walau keadaan berubah sekalipun. Terlebih kedua anakmu yang manis-manis itu, aku anggap anakku sendiri demi pengejawantahan cinta ini!” gumamnya menjelang pukul dua dini hari. Memasuki sepertiga malam yang dingin, perlahan matanya mulai menyipit. Tak lama kemudian dirinya sudah terlelap dalam mimpi yang indah.
Sementara itu, sesosok perempuan masih terjaga dan khusuk dalam dalam doanya. Untaian kata-kata untuk Tuhan mengalir dari mulutnya. Raut mukanya yang mulai keriput yang disebabkan oleh beban hidup sebagai orang tua tunggal tampak jelas. Lukisan garis-garis itu menempel di sudut-sudut kelopak matanya. Doa untuk kedua anaknya yang sedang berjuang di Panti Rehabilitasi Narkoba larut bersama malam yang hening.
“Tuhan selamatkan anak-anakku. Mereka juga anak-anak-Mu yang selalu Kaukasihi. Biarlah mereka tetap dalam lindungan-Mu Tuhan. Jangan biarkan kejahatan dan dosa-dosa orang tuanya berakibat pada mereka. Di masa lalu kami salah sebagai orang tua. Suamiku pergi entah ke mana dengan membawa harta kami. Oh Tuhan kuatkanlah kami semua!”
Doa telah berakhir. Perempuan itu masih duduk bersimpuh. Tiba-tiba angannya menangkap sosok Karyo, kekasihnya ketika masih kuliah di Yogyakarta. Ada sedikit rasa sesal mengalir di dada ketika melihat Karyo yang tetap tulus dan bijak. Ah, andaikan suamiku adalah dia, tentu aku dan anak-anakku tidak akan mengalami kesedihan ini. Tapi dirinya segera menyadari bahwa semua itu adalah akibat pilihannya. Ia memilih Anto. Tuti, ibu dari Eko dan Dwi bertekad menyempurnakan kesalahan sejarah hidupnya.
Pagi menjelang. Matahari memberi kehangatan tersendiri. Semua makhluk mulai beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk kebahagiaan. Sudah lama Tuti dan anak-anaknya mendamba kebahagiaan.
“Mas Karyo saya mohon bantuan untuk selalu memberi perhatian pada anak-anakku. Kulihat mereka sangat menyukai Mas Karyo!” kata Tuti di suatu pagi kepada Karyo.
“Iya Tuti, dengan senang hati saya akan menjadi teman bagi mereka. Perkembangannya sangat baik, mungkin tidak lama lagi mereka bisa keluar dari Panti ini. Mereka sebenarnya anak-anak yang baik. Hanya saja mereka kesepian. Demi cintaku padamu, aku akan selalu menganggap mereka seperti anak-anakku sendiri!”
“Ah, terima kasih sekali. Mas Karyo masih punya perhatian kepada kami!”
Karyo pun tersenyum lega. Semua energi kebaikan dan cinta telah terlepas dari raganya. Rasa bahagia mengalir di hati laki-laki itu.
“Ibu, kami sudah punya Ayah di sini. Dia baik sama kita!” kata Dwi gadis berusia lima belas tahun dengan bangganya.
Lalu kedua orang tua itu pun tersenyum.
“Biarlah aku mencintai kamu dan anak-anakmu dengan caraku, walau aku sebenarnya bukan apa-apamu. Tapi biarlah aku menjadi teman kalian sampai kapan pun!” kata pengelola panti itu.
“Bukti cintamu telah memberi kelegaan bagiku dan anak-anakku. Terima kasih Mas!”

Paguyangan, 25 Nopember 2004

Post a Comment

Kesan/Pesan